Minggu, 06 November 2011

Cinta kasih universal


CINTA KASIH (METTA) DAN PRAKTIKNYA DALAM KEHIDUPAN SEHARI-HARI


1.     Pengertian Metta
Metta (bahasa Pali) memiliki banyak arti, di antaranya kasih, sikap bersahabat, itikad baik, kemurahan hati, persaudaraan, toleransi, dan sikap tanpa kekerasan. Para komentator kitab suci Pali menjelaskan istilah metta sebagai, dambaan yang kuat akan kesejahteraan dan kebahagiaan makhluk lain (parahita-parasukhakamana). Intinya, metta adalah tindakan kasih yang dibedakan dari keramah-tamahan sebagai kedok kepentingan pribadi. Dengan metta kita menolak setiap bentuk kekerasan, kebencian, sakit hati, dan permusuhan. Sebaliknya kita lalu mengembangkan sikap batin yang bersahabat, murah hati, mudah mengerti dan dimengerti, serta selalu menghendaki kebahagiaan dan kesejahteraan makhluk lain. Metta yang sejati bersih dari kepentingan pribadi. Ia tumbuh di dalam hati yang hangat oleh kasih, simpati, dan persahabatan, yang dapat dikembangkan tanpa batas, melampaui segala rintangan sosial, agama, ras, ekonomi, dan politik.
Metta adalah kasih yang universal, tidak terbatas, dan bebas dari sikap mementingkan diri sendiri. Metta menjadikan kita sumber rasa aman dan tentram bagi makhluk lain. Seperti seorang ibu yang mempertaruhkan hidup untuk melindungi anaknya, begitu pula metta menjelma dalam tindakan memberi, yang tidak mengharapkan balasan. Mementingkan diri sendiri adalah dorongan batin paling primitif dalam diri manusia. Jika dorongan ini diubah menjadi kehendak luhur untuk memperhatikan kepentingan dan kebahagiaan makhluk lain, maka bukan hanya dorongan primitif itu terlampaui olehnya, tetapi batin menjadi universal, di mana tiada lagi perbedaan antara kepentingan pribadi dan kepentingan makhluk lain.
Metta adalah sikap melindungi dan kesabaran yang luar biasa dari seorang ibu yang menjalani segala kesulitan demi kebaikan anaknya. Metta juga mencakup sikap ingin memberi yang terbaik dari seorang sahabat. Jika kualitas-kualitas metta ini diperkuat dengan meditasi metta-bhavana-meditasi dengan objek kasih universal, hasilnya adalah suatu kekuatan batin yang menakjubkan, yang akan menjaga, melindungi, dan berfaedah bagi diri sendiri dan bagi makhluk lain. Terlepas dari hasil yang luar-biasa itu, dewasa ini metta amat dibutuhkan sebagai jawaban atas banyak permasalahan. Di dalam dunia yang sedang semakin bergejolak ini, tindakan, kata-kata, dan pemikiran yang didasari oleh metta menjadi satu-satunya sarana untuk mencapai keselarasan, perdamaian, dan saling-pengertian. Selain menjadi dasar semua agama, metta melandasi segala aktivitas yang bertujuan untuk memajukan kemanusiaan.


2.     Sejarah Lahirnya Metta Sutta
Latar belakang sejarah yang menjelaskan mengapa Buddha mengajarkan Sutta ini, ditemukan dalam Komentar yang ditulis oleh Acariya Buddhaghosa, seorang pewaris dari garis yang tak terputus sejak para Sesepuh zaman Buddha. Pada masa itu, sekitar satu atau dua bulan menjelang dimulainya masa vassa, para bhikkhu dari seluruh pelosok negeri datang berkumpul di tempat Buddha berada, untuk menerima petunjuk langsung dari sang Guru Agung. Setelah itu mereka akan kembali ke tempat masing-masing, ke vihara-vihara, hutan-hutan, atau ke gua-gua, dan melanjutkan upaya mereka mencapai pembebasan batin. Dikisahkan bahwa ada lima ratus orang bhikkhu yang menerima petunjuk dari Buddha tentang teknik-teknik khusus dalam bermeditasi, sesuai dengan watak mereka masing-masing. Para bhikkhu itu kemudian pergi ke kaki pegunungan Himalaya untuk menjalani empat bulan masa musim hujan (vassa), mengasingkan diri dan melakukan meditasi secara intensif. Dalam perjalanannya, mereka menemukan sebuah lembah yang indah di kaki Himalaya. Keindahannya dilukiskan dalam Komentar, “nampak seperti kristal biduri yang biru berkilauan, dihiasi sekelompok hutan lebat yang indah menghijau dan hamparan pasir berserakan seakan taburan mutiara atau butiran-butiran perak, serta aliran air dingin musim semi yang jernih.”
Para bhikkhu terpesona oleh pemandangan itu. Ada kampung-kampung dalam jarak yang tidak terlalu jauh dari sana, dan sebuah pasar yang ideal sebagai tempat mengumpulkan dana makanan (pindapatta). Setelah bermalam di sebuah hutan kecil, pagi keesokan harinya mereka pergi ke pasar itu untuk melakukan pindapatta.  Penduduk kampung yang didatangi oleh rombongan bhikkhu ini bukan main senangnya, karena jarang sekali tempat mereka didatangi oleh bhikkhu dalam jumlah begitu banyak. Para penganut yang taat itu memohon agar bhikkhu-bhikkhu tetap tinggal di sana sebagai tamu mereka. Mereka berjanji akan membangun pondok-pondok dekat hutan kecil di lembah itu, sehingga para bhikkhu bisa bermeditasi siang-malam di bawah pohon-pohon besar yang ada di sana. Bhikkhu-bhikkhu menyetujuinya, dan penduduk desa pun segera membangun pondok-pondok di pinggir hutan, melengkapi setiap pondok dengan tempat tidur dari kayu, kursi, dan tempat air untuk minum dan mandi. Setelah menempati pondok-pondok itu, para bhikkhu masing-masing memilih sebuah pohon untuk bermeditasi di bawahnya, siang-malam.
Syahdan, pohon-pohon besar itu ternyata sejak dulu telah didiami oleh jin-jin pohon, yang membangun istananya dengan pepohonan itu sebagai fondasi. Jin-jin pohon ini, didorong oleh rasa hormat kepada
para bhikkhu yang sedang bermeditasi, menyingkir bersama keluarga mereka. Kebajikan selalu dihormati oleh siapa saja, termasuk para makhluk halus, dan ketika bhikkhu-bhikkhu itu duduk di bawah pohon, jin-jin pohon sebagai tuan-rumah, tidak betah lagi berdiam di atas mereka. Jin-jin itu mengira bahwa rombongan bhikkhu hanya berdiam di sana untuk satu atau dua malam, sebelum merasa tidak kerasan dan mencari tempat lain. Tapi ketika hari berganti hari dan bhikkhu-bhikkhu masih juga duduk di bawah pohon-pohon mereka, jin-jin pohon mulai sangsi kapan tamu-tamu mereka mau pergi dari situ. Mereka tak ubahnya seperti penduduk desa yang rumah-rumahnya diduduki tentara musuh, sementara mereka hanya bisa memperhatikan dari kejauhan, sambil bertanya-tanya dalam hati, kapan mereka bisa kembali ke rumah masing-masing.
Makhluk-makhluk halus yang tergusur ini mulai berunding dan berunding, sebelum akhirnya memutuskan untuk mengusir rombongan bhikkhu dengan menunjukkan bentuk mereka yang menakutkan, suara-suara yang menyeramkan, serta bau busuk yang menjijikkan. Begitulah, belum lama jin-jin pohon itu menjalankan rencananya, kondisi bhikkhu-bhikkhu sudah menurun drastis, mereka tidak lagi dapat bermeditasi dengan tenang. Ketika kemudian jin-jin itu meneruskan ulahnya, para bhikkhu bahkan kehilangan konsentrasi mereka, benak mereka dipenuhi oleh bentuk-bentuk, suara, dan bau busuk yang menyeramkan.  Maka berkumpullah bhikkhu-bhikkhu itu dipimpin seorang bhikkhu senior, dan saling menceritakan pengalaman mereka. Bhikkhu senior akhirnya menyarankan, “Mari kita pergi, Saudara saudaraku, kepada sang Bhagava, dan mengadukan masalah kita kepada beliau. Ada dua masa vassa, yang pertama dan yang kedua. Jadi meskipun kita akan melewati masa yang pertama dengan meninggalkan tempat ini, kita masih dapat melaksanakan yang kedua setelah bertemu dengan sang Bhagava.”
Bhikkhu-bhikkhu setuju dan segera saja mereka berangkat, bahkan tanpa sepengetahuan penduduk kampung. Setibanya di Savatthi, mereka semua bersujud di kaki sang Bhagava dan mulai menuturkan pengalaman mereka yang menakutkan, dan dengan sedih memohon ditunjukkan tempat lain. Buddha, dengan kekuatan adi-duniawiNya lalu meneropong seluruh India, dan tidak menemukan tempat yang lebih baik dari lembah di kaki Himalaya itu, yang cocok bagi pencapaian pembebasan batin mereka. Beliau pun berkata, “O para bhikkhu, kembalilah ke tempat semula! Hanya di sanalah tempat yang cocok bagi kalian untuk berjuang membersihkan noda-noda batin. Jangan takut! Jika kalian ingin terbebas dari gangguan yang diciptakan oleh makhluk-makhluk halus itu, pelajari sutta ini. Ini adalah objek meditasi yang juga berfungsi sebagai perlindungan (paritta).” Kemudian sang Bhagava melafalkan Karaniya Metta Sutta-nyanyian kasih universal, yang segera dipelajari oleh para bhikkhu dengan menghafalkannya di depan Guru junjungan mereka. Setelah itu mereka berangkat kembali ke tempat semula. Sepanjang perjalanan hingga sampai di dekat hutan kecil di kaki gunung Himalaya, bhikkhu-bhikkhu terus membaca Metta Sutta, merenungkan dan bermeditasi atas makna yang terkandung di dalamnya. Hal ini menyentuh hati jin-jin pohon, yang segera dipenuhi oleh perasaan yang hangat dan itikad baik, sehingga mereka mengubah bentuk menjadi manusia dan menerima bhikkhu-bhikkhu dengan tulus. Jin-jin itu mengambil mangkuk-mangkuk para bhikkhu, membimbing mereka ke pondok masing-masing, menyediakan air dan makanan, kemudian kembali ke bentuk asal mereka dan mengundang para bhikkhu kembali ke bawah pohon-pohon untuk bermeditasi, tanpa ragu-ragu atau takut. Selanjutnya, selama tiga bulan masa vassa, jin-jin pohon tidak hanya melayani para bhikkhu tetapi juga mengamankan tempat itu sehingga bebas dari suara-suara yang mengganggu. Dalam keheningan hutan itu, para bhikkhu mencapai puncak kesempurnaan batin di akhir masa vassa mereka. Kelima ratus orang bhikkhu itu semuanya menjadi Arahat.
Demikianlah kekuatan yang terkandung di dalam Metta Sutta. Siapapun yang membacanya dengan keyakinan yang kuat akan terlindung dari makhluk-makhluk halus. Bermeditasi dengan objek metta tidak hanya akan melindungi diri sendiri dan orang-orang di sekeliling kita, tapi akan mencapai kemajuan batin. Bahaya tidak akan menghampiri orang yang mengikuti jalan metta.


3.     Tiga Aspek Metta
Metta Sutta terdiri atas tiga bagian, masing-masing membahas aspek metta yang berlainan. Bagian pertama (baris 3 sampai 10) membahas aspek penerapan kasih secara sistematis dan menyeluruh dalam sikap hidup sehari-hari. Bagian kedua (baris 11 sampai 20) mengupas kasih sebagai objek meditasi atau pembudayaan batin yang membimbing ke samadhi-kesadaran tingkat tinggi yang dicapai dengan jhana. Bagian yang ketiga (baris 21 sampai 40) mengandung komitmen filosofi kasih universal secara total dalam kehidupan pribadi dan sosial-tindakan kasih yang diujudkan melalui aktivitas tubuh, ucapan, dan pikiran.  Metta juga dikenal sebagai salah satu faktor yang “mematangkan” pahala kebajikan (punna) dan kesempurnaan (paramitta). Metta dapat diibaratkan sebagai kekuatan hidup yang menyertai sebutir benih hingga tumbuh menjadi pohon besar, dengan dahan dan ranting yang melandai oleh buah-buah ranum yang harumnya menyebar jauh, menarik hasrat jutaan makhluk untuk menikmatinya.
Penyebaran benih dan pertumbuhannya menjadi tunas mewakili bagian pertama dari Sutta. Dalam bagian kedua, tunas itu tumbuh dan berkembang menjadi besar, bunga-bunga yang indah dan wangi mulai bermunculan menyejukkan mata yang memandangnya. Sebagai objek meditasi, metta mendorong perkembangan batin yang akan mengubah hidup seseorang menjadi sumber kegembiraan bagi semua orang. Munculnya buah-buah ranum yang harum baunya menunjukkan bagian ketiga dari Sutta, yaitu proses perkembangan batin dimana seseorang menerapkan kasih spiritualnya secara tak terbatas, yang mempengaruhi orang (makhluk) lain, di samping membimbing diri sendiri ke pencapaian batin yang transenden. Batin manusia tak ubahnya ruang angkasa yang bisa menampung kekuatan batin dan pandangan terang dalam jumlah tak terbatas, dan potensi yang menakjubkan ini dapat dikembangkan dengan latihan metta. Dalam Mangala Sutta disebutkan bahwa kondisi lingkungan yang baik (misalnya, bergaul dengan orang bijaksana) secara tidak langsung akan mempercepat masaknya buah karma baik seseorang. Kondisi atau kekuatan yang mematangkan itu dapat terpenuhi dengan pengembangan metta. Hanya dengan menghindari pergaulan yang buruk dan hidup dalam lingkungan yang beradab tidaklah mencukupi batin kita harus diperkuat oleh metta.


4.     Aspek Etis Metta
Perbuatan yang etis, dalam konteks Ajaran Buddha, adalah perbuatan baik yang membawa kebahagiaan dan ketenangan batin-lawan dari perbuatan yang menimbulkan kekacauan atau kegelisahan batin. Ucapan, tindakan, dan penghidupan benar yang termaktub di dalam Jalan Agung Beruas Delapan merupakan landasan etika umat Buddha. Perbuatan etis akan membuahkan hasil psikologis segera di samping kelahiran kembali yang baik, sehingga kita bisa lebih maju di Jalan menuju Kebebasan. Secara sederhana, etika Buddha memiliki dua segi yaitu: -menambah kebajikan (caritta); dan –mengurangi perbuatan buruk (varitta).
Caritta, seperti kita temukan dalam Metta Sutta, adalah sebagai berikut:
Ia harus cakap, jujur, dan terbuka, halus bicaranya, lemah-lembut, tidak angkuh. Merasa puas, ia harus mudah dilayani, tidak terlalu sibuk, hidupnya sederhana. Indranya tenang, tindakannya hati-hati, tidak sombong ataupun mendambakan pujian.
Varitta tercakup dalam bait berikutnya:
Ia juga harus menghindari setiap tindakan yang dapat dicela oleh para bijaksana. Jika Caritta dan varitta merupakan ungkapan metta dalam tindakan dan ucapan, maka kebahagiaan dan dorongan batin yang altruis dicerminkan dalam sikap batin, seperti ditemukan dalam bait yang sama: Semoga semua selamat sejahtera,
semoga semua makhluk berbahagia!
Aspek etis metta juga memberikan rasa aman dan tentram bagi orang (makhluk) lain yang ada di sekeliling kita-abhayadana dan khemadana. Suatu analisis terhadap pola perilaku dan karakter yang dianjurkan oleh Metta Sutta dalam hubungan antar-manusia, baik untuk kehidupan perseorangan maupun sosial, memberikan suatu pandangan terang untuk menerapkan sutta ini bagi kesehatan mental.
“Cakap” tidak semata-mata berarti keahlian atau efisiensi, tetapi kemampuan untuk melakukan sesuatu sebaik-baiknya tanpa merugikan orang lain. Selanjutnya, orang yang cakap dapat menjadi sangat angkuh, karenanya Sutta juga menyarankan agar ia “jujur dan terbuka,” di samping itu juga, “halus bicaranya, lemah-lembut, tidak angkuh.” Sungguh suatu sistesis watak yang selaras dan sempurna! “Merasa puas” artinya “mudah dilayani.” Kesederhanaan adalah watak yang agung dan teladan bagi kehalusan budi, di mana seseorang membatasi keinginannya sebagai tenggang-rasa terhadap orang lain. Makin materialis dan kasar budi seseorang, semakin keinginannya bertambah. Ukuran kesehatan mental suatu masyarakat adalah jumlah keinginan-keinginan atau tingkat kepuasan anggotanya.
Hidup yang materialistis dan berpusat pada kepentingan sendiri dicirikan bukan hanya oleh bertambahnya keinginan tapi juga kegelisahan, yang nampak dalam sikap kelewat sibuk atau super aktif, lawan dari sikap yang moderat dan terkendali. Metta yang mengutamakan kesejahteraan semua makhluk, harus dibangun di atas kualitas-kualitas manusiawi, dengan cara memilih pekerjaan yang berarti dan bermanfaat bagi kesejahteraan orang banyak. Hidup sederhana sebagai suatu ungkapan metta menuntut perubahan cara pandang dan perilaku seseorang di dalam dunia yang dibangun di atas konsep-konsep milik, perburuan kesenangan, dan kompetisi ini. Seorang yang hidupnya sederhana akan memiliki perangai yang halus. Meski tetap efektif dan efisien, indra-indranya terkendali, dan sikapnya moderat dalam segala hal. Pembinaan batin melalui meditasi akan membentuk sikap yang wajar dan tidak ambisius: karena itulah ia disebut “indranya tenang.”
Penerapan metta dalam tindakan mencakup sikap berhati-hati dalam segala hal, yang biasa disebut kebijaksanaan praktis. Hanya orang bijaksana yang dapat benar-benar menjalankan metta dalam setiap segi kehidupannya, serta dalam tiap bentuk hubungan antar-manusia. Sikap merasa diri paling benar, merasa lebih baik dan lebih suci daripada orang lain, dapat (dan sering) berubah menjadi topeng dalam kehidupan spiritual. Melatih sikap yang “tidak sombong ataupun mendambakan pujian” akan mencegah tumbuhnya rasa diri paling benar dalam diri orang yang hendak menerapkan metta dalam hidupnya. Selanjutnya, seorang yang berlatih metta juga harus menghindari setiap tindakan, bahkan yang diterima masyarakat sebagai hal biasa, yang dapat dicela oleh para bijaksana. Tidak cukup bagi kita hanya menjadi orang baik secara diam-diam, jika kita mampu menjadi teladan bagi orang lain. Hidup yang pantas diteladani adalah yang bermanfaat bagi orang banyak, bagi kesejahteraan masyarakatnya. Untuk memperkuat mettanya, seseorang harus berusaha agar batinnya selalu diliputi metta secara utuh-penuh, melalui teknik-teknik meditasi yang dapat ditemui dalam bagian selanjutnya dari Sutta.
Alasan-alasan praktis yang mendorong seseorang untuk berlatih metta-bhavana ialah:
1. Untuk kesehatan mental, dan berkurangnya penyakit mental secara tidak langsung akan menunjang kesehatan fisik.
2. Untuk meningkatkan kesabaran, toleransi, dan pengertian, sehingga hubungan antar-manusia di rumah, di sekolah, di kantor, dan pergaulan sosial lainnya, akan lebih harmonis.
3. Untuk mengatasi kemarahan, itikad buruk, dan kelakuan buruk lainnya yang ditujukan orang kepada kita.
4. Untuk kemajuan batin.
Di samping itu, Metta juga disebut paritta-formula spiritual yang dapat melindungi kita dari mara-bahaya, dan menyelamatkan dari hal-hal yang tidak diharapkan. Ketika bhikkhu-bhikkhu dalam kisah di atas dimusuhi dan diganggu oleh makhluk-makhluk halus penunggu hutan, mereka tidak dapat bermeditasi dengan tenang hingga akhirnya harus meninggalkan hutan. Tapi dengan perisai Metta Sutta, yang mereka baca sepanjang perjalanan dan bermeditasi atas objek itu, setibanya kembali di hutan tadi, jin-jin pohon telah berubah jadi sangat bersahabat. Permusuhan telah berubah menjadi persahabatan. Perlindungan yang muncul dari paritta bekerja secara objektif dan subjektif. Secara subjektif, metta membersihkan dan menguatkan batin di samping membangkitkan potensi tersembunyi yang akan mengubah kepribadian seseorang. Batin yang diubah oleh metta tidak lagi dihantui keserakahan, kebencian, nafsu, cemburu, dan faktor-faktor lain yang mengotori batin musuh-musuh kita yang sesungguhnya, yang menyebabkan semua kemalangan kita. Secara objektif, metta adalah kekuatan pikiran yang dapat mempengaruhi pikiran makhluk lain di manapun, yang tingkatnya tinggi maupun rendah. Pancaran metta tidak hanya menenangkan atau menyingkirkan kebencian dari dalam diri, tetapi dalam banyak kasus juga dapat mengobati penyakit. Di negara-negara Buddhis, telah menjadi pemandangan biasa melihat orang-orang yang mengusir segala penyakit dan kemalangan dengan membacakan paritta ini. Metta benar-benar suatu kekuatan yang menyembuhkan, suatu paritta penyembuhan.


5.     Kasih Universal Dalam Praktek
Dalam dunia spiritual, melulu aturan-aturan “jangan begini, jangan begitu” yang banyak kita jumpai di dunia, tidaklah banyak artinya. Yang lebih penting adalah tindakan kasih kita terhadap segala orang lain, apapun yang dilakukannya terhadap kita. Sabda sang Buddha, “permusuhan tidak akan berakhir kecuali dibalas dengan kasih” dan “kemenangan paling berharga adalah (kemenangan) yang diperoleh atas diri sendiri” sungguh tidak pernah usang. Kita semua mengetahui bahwa dalam pertikaian kedua pihak akan merugi, seperti kita juga tahu bahwa kemarahan kita kepada orang lain tak ubahnya debu yang dilemparkan melawan angin dan mengenai muka sendiri. Tapi pengetahuan tentang kasih itu sering tidak banyak berarti karena tidak diwujudkan secara nyata dalam suatu tindakan kasih.
Sebuah teori psikoanalisis modern membedakan empat macam sikap- mental yang tersembunyi di balik setiap tindakan manusia, yaitu:
(1) Saya tidak Oke, kamu tidak Oke
(2) Saya tidak Oke, kamu Oke
(3) Saya Oke, kamu tidak Oke
(4) Saya Oke, kamu Oke.
Dari semua itu, sikap yang keempat mengandung apa yang kita sebut tindakan kasih. Orang yang berkata dalam hatinya, “untuk kebaikanku dan untuk kebaikanmu juga,” adalah seorang optimistis yang selalu mencoba melihat sisi baik dari semua orang dan semua situasi. Dengan begitu ia dapat mulai belajar mengerti dan menerima dirinya sendiri maupun orang (makhluk) lain, dan melihat bahwa tidak ada satu orangpun di dunia ini yang tidak memiliki sisi baik. Ia yang hendak mempraktekkan tindakan kasih dalam setiap segi kehidupan akan terus berusaha mencapai kebahagiaan bagi semua, bagi dirinya sendiri dan orang lain.
Jadi, bagaimana praktik yang benar untuk melatih Metta dlm kehidupan sehari-hari?
Pertama-tama kita perlu memancarkan metta kepada diri sendiri terlebih dahulu, ini sangat penting! Bayangkan saja mana mungkin kita bisa memancarkan metta kepada orang lain jika kita masih belum bisa memancarkan metta kepada diri sendiri. Contoh konkrit memancarkan metta kepada diri sendiri adalah dengan memperhatikan ketika kita mau makan, maka kita perlu berhati-hati, kita juga perlu periksa baik-baik apakah makanan yang akan disantap itu mengandung racun atau tidak, mengandung bahan kimia, minyak, kolestrol, lemak, apakah makanan yang akan kita santap itu menyebabkan penderitaan baru bagi diri sendiri dan juga makhluk lain?
Ketika seseorang sedang menikmati rokok, narkoba, dan sebagainya, dia wajib melihat lebih dalam apakah ini termasuk aksi memancarkan metta kepada paru-paru dan tubuh fisik ini bukan? Kita perlu menatap lebih dalam, sehingga cara kita menyantap makanan akan memberi kesehatan bagi tubuh fisik, ini salah satu cara memancarkan metta kepada tubuh fisik kita.
Ketika menyantap makanan mental seperti nonton televisi, baca koran, novel, majalah, dialog; kita juga perlu hati-hati apakah program televisi dan media masa itu mengandung racun kekerasan, kebencian, iri hati, sifat tamak, kekecewaan, sifat curiga dan sebagainya, karena kalau kita tidak hati-hati, maka banyak program televisi dan media masa ini akan menjadi faktor penyebab kanker mental yang namanya stress dan frustasi yang ujung-ujungnya bermuara pada bunuh diri, jadi ber-metta-lah pada mental pikiranmu sendiri terlebih dahulu.
Dalam konteks ini, bukanlah kita menolak dan membenci program televisi dan berbagai media masa, toh banyak program televisi yang bermanfaat dan media masa yang memberikan makanan sehat bagi mental, kita perlu hidup eling dan waspada agar tidak memasukkan racun-racun mental ke dalam pikiran kita.
Kalau kita sudah sering memancarkan metta kepada tubuh fisik dan mental, maka tubuh fisik dan mental akan menjadi lebih sehat, dengan kondisi demikian kita baru bisa menjadi panutan baik buat orang lain, kita tidak perlu memberikan ceramah dharma panjang-panjang di depan publik, tapi tindakan nyata kita adalah ceramah dharma ampuh!
Sesungguhnya ketika kita memancarkan metta kepada diri sendiri, berarti kita juga sedang memancarkan metta kepada orang lain, dan ketika kita memancarkan metta kepada orang lain berarti kita juga sedang memancarkan metta kepada diri sendiri. Lihatlah bahwa ada interkoneksi antara dua hal tersebut. Selamat mencoba yah, salam bahagia.
Berikut ini adalah kutipan sabda-sabda sang Buddha mengenai kasih sebagai perisai yang mengalahkan kebencian :
Kakacupama Sutta, Majjhima Nikaya 21
“Phagguna, jika seseorang memukul wajahmu, maka engkau tidak boleh menanggapi dan berpikir secara duniawi. Dalam hal ini, Phagguna, engkau harus melatih dirimu demikian: ‘Batinku tidak boleh terpengaruh oleh hal ini, begitu pula tidak akan kuberi kesempatan bagi keluarnya kata-kata kasar; sebaliknya aku akan tetap penuh perhatian dan belas kasihan, dengan batin penuh kasih, dan aku tiada akan menjadi benci.’
Inilah caranya, Phagguna, bagaimana engkau harus melatih dirimu.
“Phagguna, jika seseorang meninjumu dengan tangannya, atau melemparmu dengan tanah, atau memukulmu dengan kayu, atau melukaimu dengan pedangnya, maka engkau tidak boleh menanggapi dan berpikir secara duniawi. Dalam hal ini, Phagguna, engkau harus melatih dirimu demikian: ‘Batinku tidak boleh terpengaruh oleh hal ini, begitu pula tidak akan kuberi kesempatan bagi keluarnya kata-kata kasar; sebaliknya aku akan tetap penuh perhatian dan belas kasihan, dengan batin penuh kasih, dan aku tiada akan menjadi benci.’ Inilah caranya, Phagguna, bagaimana engkau harus melatih dirimu.

1 komentar:

  1. Casinos Near Fort Worth - MapyRO
    Find Casinos 진주 출장마사지 Near Fort Worth, 부천 출장안마 TX from $38 - 문경 출장마사지 $40 - Use this simple form to find casinos, find travel 부산광역 출장마사지 deals, & reviews 세종특별자치 출장안마 near Fort Worth, TX.

    BalasHapus