KEJUJURAN SEBAGAI CARA MENERAPKAN GERAKAN ANTIKORUPSI
Pendahuluan
Manusia sekarang banyak yang pinter, tapi keblinger! Ungkapan tersebut muncul sebagai sorotan terhadap beberapa penyelewengan dalam berbagai Aspek kehidupan, termasuk korupsi. Ketika bencana melanda dan ketika masyarakat kedinginan dan perut kelaparan karena banjir, kita melihat para politisi dan pemimpin yang tidak bergeming sekalipun rakyatnya menderita akibat gempa bumi, banjir, tsunami. Bahkan dikatakan bahwa rakyat harus kembali mengurut dada menelan kekecewaan, ketika ada komentar wakil rakyat yang dengan masa bodoh mengatakan, “Musibah bukan hanya di Indonesia saja, di luar negeripun ada musibah”. Lebih parah lagi, banyak bantuan yang kemungkinan besar tidak sampai kepada korban bencana karena keserakahan, kalau ditanyakan tentang keberadaannya dapat dijawab “hanya tuhan dan setan yang tahu” demikian jawab relawan.
Fenomena yang terjadi menunjukkan perilaku yang menyimpang dari nilai moral dan norma yang berlaku. Manusia secara sosial mengalami gejala sosiopatik (pathologi sosial), anomie, alienasi, dan sejenisnya. Tindak kriminal seperti pemerkosaan, penindasan, perampokan, penodongan, tawuran, dan aksi terorisme hingga kejahatan tingkat tinggi (white colar crime) seperti korupsi, kolusi, nepotisme yang marak menunjukkan ketidakcerdasan moral dan menurunnya kualitas spiritual manusia. Kejujuran, kebenaran, dan keadilan telah tertutup oleh penyelewengan-penyelewengan (ringan maupun berat), diantaranya tidak ada sikap saling menghormati, tenggang rasa, meningkatnya budaya konsumerisme, adu domba, fitnah, menjilat, menipu, berdusta, maupun mengambil hak orang lain.
Pengertian
Definisi korupsi (bahasa Latin: corruptio dari kata kerja corrumpere = busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok) menurut Transparency International adalah perilaku pejabat publik, baik politikus|politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka (.
Dari sudut pandang hukum, perbuatan korupsi mencakup unsur-unsur:
· Melanggar hukum yang berlaku
· Penyalahgunaan wewenang
· Merugikan negara
· Memperkaya pribadi/diri sendiri
Korupsi dalam arti yang luas adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi. Semua bentuk pemerintah|pemerintahan rentan korupsi dalam prakteknya. Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai dengan korupsi berat yang diresmikan, dan sebagainya. Titik ujung korupsi adalah kleptokrasi, yang arti harafiahnya pemerintahan oleh para pencuri, di mana pura-pura bertindak jujur pun tidak ada sama sekali.
Korupsi yang muncul di bidang politik dan birokrasi bisa berbentuk sepele atau berat, terorganisasi atau tidak. Walau korupsi sering memudahkan kegiatan kriminal seperti penjualan narkotika, pencucian uang, dan prostitusi, korupsi itu sendiri tidak terbatas dalam hal-hal ini saja. Untuk mempelajari masalah ini dan membuat solusinya, sangat penting untuk membedakan antara korupsi dan kriminalitas/kejahatan.
Tergantung dari negaranya atau wilayah hukumnya, ada perbedaan antara yang dianggap korupsi atau tidak. Sebagai contoh, pendanaan partai politik ada yang legal di satu tempat namun ada juga yang tidak legal di tempat lain. Beberapa Kondisi yang mendukung munculnya korupsi, antara lain:
· Konsentrasi kekuasan di pengambil keputusan yang tidak bertanggung jawab langsung kepada rakyat, seperti yang sering terlihat di rezim-rezim yang bukan demokratik.
· Kampanye-kampanye politik yang mahal, dengan pengeluaran lebih besar dari pendanaan politik yang normal.
· Proyek yang melibatkan uang rakyat dalam jumlah besar.
· Lingkungan tertutup yang mementingkan diri sendiri dan jaringan "teman lama".
· Lemahnya ketertiban hukum.
· Lemahnya profesi hukum.
· Gaji pegawai pemerintah yang sangat kecil.
· Rakyat yang cuek, tidak tertarik, atau mudah dibohongi yang gagal memberikan perhatian yang cukup ke pemilihan umum.
· Ketidakadaannya kontrol yang cukup untuk mencegah penyuapan atau "sumbangan kampanye".
Berbagai pendekatan dalam gerakan anti korupsi
Secara kultural dan struktural memberantas korupsi adalah mensosialisasikan nilai baru bahwa Korupsi merupakan sebuah tindakan yang beresiko tinggi dan bernilai rendah, dan akan dikenakan pembuktian terbalik bahwa harta yang diperolehnya adalah barang yang halal. Secara struktural memberantas korupsi berarti memberantas KKN dengan memberdayakan komisi pemeriksaan kekayaan pejabat dan latar belakang kehidupannya, membangun sistem pencegah dini korupsi, UU Anti Korupsi yang konsisten, memberikan jaminan hidup yang layak bagi pegawai, sistem pembuktian terbalik, pengumuman dan audit kekayaan pejabat sebelum dan sesudah bertugas, membuat iklan layanan masyarakat di media massa dan di kemasan produk-produk yang dikonsumsi semua orang. Bangsa ini perlu banyak belajar dan merenung untuk menghargai bahwa korupsi merugikan orang banyak yang telah bekerja keras dan berlaku jujur, tindakan korupsi tidak menghargai manusia untuk cinta kepada kebaikan, dengan begitu kita semua sedang belajar untuk hidup lebih lurus. Anak bangsa ini lahir dan besar dalam kondisi majemuk dan berbeda status sosial ekonominya. Ada yang berpunya dan ada yang lahir dalam serba berkekurangan. Dalam kemajemukaan tersebut, keragaman pandangan dan pilihan untuk memelihara dan menjinakkan perilaku korupsi adalah hal biasa dan harus kita hargai. Dengan kemauan mengkoreksi kesalahan berarti kita berpeluang untuk mengatasi krisis apapun. Krisis adalah peluang di masa sulit. Bangsa ini perlu membangun kehidupan sehari-hari yang berdasar etika yang kuat, aturuan-aturan hukum yang dibuat aspiratif dan partisipatif, dengan begitu keadilan akan datang.
Untuk mengikis korupsi sedikit demi sedikit, yang mudah – mudahan pada waktunya nanti, perbuatan korupsi dapat diberantas dari negara ini atau sekurang – kurangnya dapat ditekan sampai tingkat serendah mungkin, beberapa hal yang dapat dilaksanakan antara lain:
1. Kontrol sosial dari masyarakat, yang menyadari bahwa perbuatan korupsi merugikan semua orang, dan korupsi uang negara adalah perbuatan jahat yang direncanakan dan menyengsarakan rakyat. Bahwa koruptor itu berjuta kali lebih jahat dan kejam dari segala perbuatan kriminal lainnya. Dan perbuatan korupsi adalah perbuatan manusia bejat serta tidak bermoral.
2. Sistem hukum yang berlaku, seharusnya dalam pelaksanaan sistem hukum negara kita jangan ada perbedaan perlakuan dalam bentuk apapun dan terhadap siapapun, kalau maling ayam ketangkap masuk tahanan, sang pejabat yang ada bukti awal korupsi juga seharusnya segera dimasukkan dalam tahanan. Pelaku kriminal lainnya hanya boleh dibesuk pada jam dan waktu yang telah ditentukan, sang koruptor harusnya juga diperkakukan sama. Seringkali pihak aparat penegak hukumnya seolah – olah kalah wibawa dengan sang koruptor, jelas ini masalah moral dan mental yang perlu segera dibenahi.
3. Seleksi penerimaan Pegawai Negeri, Cara penerimaan pegawai negeri yang sampai hari ini tidak jelas ujung pangkalnya perlu sesegera mungkin dibenahi, dan dengan prinsip dasar transparan. Sehingga jelas apa dasar dan alasan seseorang diterima menjadi pegawai negeri, juga pengangkatan pejabat yang sampai hari ini masih kacau balau, ( Saya melihat sendiri seorang keponakan pejabat yang diangkat menjadi kepala dinas, untuk memimpin rapat saja tidak tahu bagaimana caranya )
4. Undang – undang korupsi, yang berlaku saat ini, terlampau banyak celah dan kelemahan yang dapat dimanfaatkan oleh koruptor. Berlakukan undang – undang korupsi pembuktian terbalik dengan tambahan bahwa yang dapat dijerat dengan undang – undang ini termasuk keluarga sang pejabat.
5. Saluran terbuka untuk masyarakat, seringkali masyarakat mengetahui tentang adanya perbuatan korupsi, tetapi tidak tahu harus melapor kemana dan kepada siapa, juga ketakutan akan dijadikan saksi yang bakal merepotkan dirinya, perlu dipikirkan agar adanya akses langsung dari masyarakat luas kepada pihak yang betul – betul dapat menjamin dan melindungi pelapor, juga menindak lanjuti laporan tersebut, sehingga tidak menciptakan sikap masa bodoh dari masyarakat, seperti yang terjadi saat ini.
6. Sistem pendidikan, mungkin dapat dirancang untuk dimasukkan dalam kurikulum pendidikan mulai setingkat SLTP, yang menanamkan kepada anak didik tentang hak dan kewajiban warga negara atas negaranya, juga menanamkan rasa memiliki negara ini, dengan mengajarkan apa sebenarnya yang dimaksud dengan korupsi, akibatnya, dan rasa kebenciannya terhadap korupsi, sehingga anak – anak koruptor tidak dengan leluasa lagi mendikte sekolahnya, di sekolah – sekolah favorit tertentu, secara tidak langsung, anak – anak koruptor seringkali memberikan contoh dan image yang tidak baik terhadap kawan – kawannya, dan akan berpengaruh di jiwa seorang anak – anak lainnya di kemudian hari. Lihatlah anak – anak koruptor yang baru bersekolah di SLTP, dengan bangganya mengendarai mobil hasil dari korupsi orangtuanya yang berharga ratusan juta rupiah ke sekolah (Salim, 1999, salimbp@telkom.net)
Berbagai pendekatan Buddhis dalam gerakan anti korupsi
Gerakan antikorupsi dapat dijalankan dengan cara mencari dan mendeteksi sebab kondisi yang mendukung timbulnya korupsi tersebut, yang pada dasarnya bersumber pada pengembangan sifat dasar manusia yang tidak terkendali, yaitu ketidak tahuan (moha), ketidaksenangan (lobha), dan yang paling utama adalah keserakahan (lobha). Kemunculan ketiga hal tersebut tentu diikuti oleh kurangnya pengendalian diri manusia yang tercermin dalam Sila.
Korupsi jika digolongkan dalam pelanggaran sila termasuk dalam kategori pencurian (adinadana) dan kebohongan (musavada), hal inilah yang dilakukan pada awalnya, jika didiamkan bisa meningkat pada pelanggaran yang lain. Untuk mengatasi hal tersebut yang harus dikembangkan adalah melatih Kesabaran dalam cara penghidupan yang benar (samajivita) dan kejujuran yang diwujudkan sebagai keadilan, kemurnian, kesetiaan, dan perasaan terima kasih. Hal tersebut dapat diterangkan lebih lanjut bahwa untuk menghindari pengambilan barang yang bukan miliknya perlu dibarengi dengan kesabaran serta pengendalian diri dalam menjalankan penghidupannya. Menghindari kebohongan hendaknya dibarengi dengan usaha mengembangkan kejujuran, belajar jujur, belajar terbuka, belajar bisa menyampaikan pendapat dengan terus terang. Sikap jujur dan terus terang ini adalah modal pokok dalam melaksanakan penghidupan yang benar.
Pendekatan Buddhis dalam upaya pemberantasan korupsi adalah dengan moralisasi dan penggunaan kekuasaan rakyat secara bertanggungjawab. Buddha berkhotbah tentang tanpa kekerasan dan kedamaian sebagai pesan universal. Beliau tidak menyetujui kekerasan atau pemusnahan kehidupan, dan menyatakan bahwa tidak ada hal yang disebut perang 'adil'. Buddha mendiskusikan pentingnya spiritualitas sebagai prasyarat pemerintahan yang baik. Beliau menunjukkan bagaimana negara dapat menjadi korup, memburuk, dan tidak bahagia jika kepala pemerintahan korup dan tidak adil. Beliau berbicara menentang korupsi dan bagaimana pemerintah harus bertindak berdasarkan pada prinsip kemanusiaan. Buddha bersabda: Jika penguasa suatu negara adil dan baik, para menteri menjadi adil dan baik, Jika para menteri adil dan baik, para pejabat tinggi menjadi adil dan baik, Jika para pejabat tinggi adil dan baik, para bawahan menjadi adil dan baik; Jika para bawahan adil dan baik, rakyat menjadi adil dan baik.' (Anguttara Nikaya)
Buddha bersabda dalam Cakkavatti Sihanada Sutta, bahwa pelanggaran susila dan kejahatan, seperti pencurian, penipuan, kekerasan, kebencian, kekejaman, dapat muncul dari kemelaratan. Para raja dan pemerintah mungkin mencoba untuk menekan kejahatan melalui hukuman, tapi sia-sia memberantas kejahatan dengan kekerasan. Buddha dalam Kutadanta Sutta, menyarankan pengembangan ekonomi sebagai pengganti kekerasan untuk mengurangi kejahatan. Pemerintah harus menggunakan sumber daya negara untuk memperbaiki kondisi ekonomi negara tersebut. Hal ini dapat dimulai dengan pengembangan pertanian dan pedesaan, pemerintah memberikan makanan dan bibit kepada mereka. Menyediakan bantuan modal (finansial) pada pengusaha dan pedagang. Menyediakan gaji yang memadai bagi pegawai (pekerja) untuk mempertahankan hidup layak dengan martabat manusia. Apabila mereka melaksanakan tugas dan kewajiban masing-masing, maka pendapatan negara akan meningkat, negara akan aman dan damai, rakyat berdaulat senang dan bahagia.
Buddha dalam cerita Jataka memberikan 10 peraturan bagi Pemerintahan yang Baik, yang dikenal sebagai Dasa Raja Dharma (Ja.V.378). Sepuluh peraturan ini bahkan dapat diterapkan saat ini oleh pemerintah mana pun yang ingin memerintah negara dengan damai. Menurut peraturan ini, pemerintah seharusnya mengembangkan:
1. Kedermawanan atau menghindari mementingkan diri sendiri,
2. Memelihara sifat moral yang luhur,
3. Siap untuk mengorbankan kesenangan diri sendiri untuk kesejahteraan warga negara,
4. Integritas atau tulus, jujur, dan dapat dipercaya,
5. Baik dan lemah lembut,
6. Menjalani hidup sederhana agar diteladani warga negara,
7. Bebas dari kebencian apa pun (tanpa amarah),
8. Menerapkan prinsip tanpa kekerasan,
9. Menjalankan kesabaran, dan
10. Menghormati pendapat rakyat untuk memajukan perdamaian dan keselarasan.
Berkenaan dengan tingkah lakunya, Seorang Pemimpin hendaknya menjalankan kewajiban suci yaitu: hidup dalam kebenaran, memuja kebenaran, mensucikan diri dengan kebenaran, menjadikan kebenaran sebagai junjungannya, melindungi penduduk tanpa kecuali (termasuk binatang), tidak membiarkan terjadinya kejahatan, tidak membiarkan orang-orang hidup miskin.
“ ... jika seseorang, yang tidak sehat, tidak kompeten, tidak bermoral, tidak layak, tidak mampu, dan tidak berharga untuk kedudukan raja (pemimpin), telah menobatkan dirinya sendiri sebagai pemimpin atau penguasa dengan otoritas besar, ia adalah sasaran berbagai hukuman oleh rakyat, karena, dengan tidak pantas dan tidak berharga, ia telah menempatkan dirinya sendiri secara tidak benar dalam kursi kedaulatan. Penguasa, seperti siapa pun yang melanggar kode moral dan peraturan dasar segala hukum sosial umat manusia, juga merupakan sasaran terhadap hukuman; dan lebih lanjut, terkecamlah penguasa yang bertindak sebagai perampok rakyat” (Mil.i).
Kesimpulan
Secara kultural dan struktural memberantas korupsi adalah mensosialisasikan nilai baru bahwa Korupsi merupakan sebuah tindakan yang beresiko tinggi dan bernilai rendah, dan akan dikenakan pembuktian terbalik bahwa harta yang diperolehnya adalah barang yang halal. Secara struktural memberantas korupsi berarti memberantas KKN dengan memberdayakan komisi pemeriksaan kekayaan pejabat dan latar belakang kehidupannya, membangun sistem pencegah dini korupsi, UU Anti Korupsi yang konsisten, memberikan jaminan hidup yang layak bagi pegawai, sistem pembuktian terbalik, pengumuman dan audit kekayaan pejabat sebelum dan sesudah bertugas, membuat iklan layanan masyarakat di media massa dan di kemasan produk-produk yang dikonsumsi semua orang. Bangsa ini perlu banyak belajar dan merenung untuk menghargai bahwa korupsi merugikan orang banyak yang telah bekerja keras dan berlaku jujur, tindakan korupsi tidak menghargai manusia untuk cinta kepada kebaikan, dengan begitu kita semua sedang belajar untuk hidup lebih lurus. Anak bangsa ini lahir dan besar dalam kondisi majemuk dan berbeda status sosial ekonominya. Ada yang berpunya dan ada yang lahir dalam serba berkekurangan. Dalam kemajemukaan tersebut, keragaman pandangan dan pilihan untuk memelihara dan menjinakkan perilaku korupsi adalah hal biasa dan harus kita hargai. Dengan kemauan mengkoreksi kesalahan berarti kita berpeluang untuk mengatasi krisis apapun. Krisis adalah peluang di masa sulit. Bangsa ini perlu membangun kehidupan sehari-hari yang berdasar etika yang kuat, aturuan-aturan hukum yang dibuat aspiratif dan partisipatif, dengan begitu keadilan akan datang.
Pendekatan Buddhis dalam upaya pemberantasan korupsi adalah dengan moralisasi dan penggunaan kekuasaan rakyat secara bertanggungjawab. Buddha berkhotbah tentang tanpa kekerasan dan kedamaian sebagai pesan universal. Beliau tidak menyetujui kekerasan atau pemusnahan kehidupan, dan menyatakan bahwa tidak ada hal yang disebut perang 'adil'. Korupsi jika digolongkan dalam pelanggaran sila termasuk dalam kategori pencurian (adinadana) dan kebohongan (musavada), hal inilah yang dilakukan pada awalnya, jika didiamkan bisa meningkat pada pelanggaran yang lain. Untuk mengatasi hal tersebut yang harus dikembangkan adalah melatih Kesabaran dalam cara penghidupan yang benar (samajivita) dan kejujuran yang diwujudkan sebagai keadilan, kemurnian, kesetiaan, dan perasaan terima kasih.
Hal tersebut dapat diterangkan bahwa untuk menghindari pengambilan barang yang bukan miliknya perlu dibarengi dengan kesabaran serta pengendalian diri dalam menjalankan penghidupannya. Menghindari kebohongan hendaknya dibarengi dengan usaha mengembangkan kejujuran, belajar jujur, belajar terbuka, belajar bisa menyampaikan pendapat dengan terus terang. Sikap jujur dan terus terang ini adalah modal pokok dalam melaksanakan penghidupan yang benar.
Refferensi.
Book of Kindred Sayings-Samyutta Nikaya. Translate by Davids, C.A.F. & F.L. Woodward. 1989. Oxford: Pali Text Society.
Book of Gradual Sayings-Anguttara Nikaya Translate by E.M. Hare 1989. Oxford: Pali Text Society.
Buddhagosa, Bhadantacariya (Tr. by Nanamoli). 1991. The Path of Purification (Visuddhimagga). Kandy, Srilanka: Buddhist Publication Society. diterjemahkan Tim penerjemah Jalan Kesucian tahun 1996, Denpasar: Mutiara Dharma.
Dhammapada, tanpa tahun diterjemahkan oleh Supandi. C. J, 2003, Jakarta: Karaniya
Dialogues of The Buddha (Dighä Nikaya). Translate by Rhys Davids, C.A.F. & T.W. Rhys Davids. 1989 London: Pali Text Society.
Discourse Of The Buddha, translate from pali Bhikkhu Ñanamoli, tanpa tahun. translate by Bhikkhu Bodhi. 2000, Boston: Wisdom Publication.
Lay, U. Ko. 2000, The Guide To Tipitaka – Panduan Tipitaka. Terjemahan oleh Wena Cintyawati dan Lanny Anggawati. Klaten: Wisma Sambodhi.
Middle Saying (Majjhima Nikaya). Translate by I.B. Horner, 1989. London: Pali Text Society.
Salim Muhd. K. 1999, Pemberantasan Korupsi Di Indonesia
Masyarakat Transparansi Indonesia The Indonesian Society for Transparency http://www.transparansi.or.id E-mail: mti@centrin.net.id
Masyarakat Transparansi Indonesia The Indonesian Society for Transparency http://www.transparansi.or.id E-mail: mti@centrin.net.id
Sañjivaputta, Jan. 1991. Mangala Berkah Utama, Jakarta: Lembaga Pelestari Dhamma.
Siddhi. 1979. The Sosial Philosophy of Buddhism. Bangkok: Mahamangkut Buddhist University.
Tanpa Nama, 1987, Kebahagiaan Dalam Dhamma, Jakarta: Majelis Buddhayana Indonesia.
Wijaya-Mukti, Krishnanda, 2003, Wacana Buddha Dharma. Jakarta: Yayasan Dharma Pembangunan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar