Minggu, 27 November 2011

Penulis Kitab-kitab Sansekerta

Penulis Kitab-kitab Sansekerta

Terdapat banyak penulis kitab ajaran Buddha dalam bahasa Sansekerta, antara lain Bhikkhu Asvaghosa, Bhikkhu Nagarjuna, Sthavira Buddhapalita, Sthavira Bhavaviveka, Asanga, Vasubandhu, Dinnaga, dan Dharmakīrti.

Bhikkhu Asvaghosa
Bhikkhu Asvaghosa terkenal sebagai seorang penyair dan pemikir pada zaman pemerintahan Raja Kaniska. Para sarjana menilai bahwa Bhikkhu Asvaghosa dalam sejarah Ajaran Buddha mempunyai kedudukan yang unik. Selain sebagai pemikir, beliau juga seorang penyair yang dapat dibandingkan dengan Valmiki (penulis Ramayana). Karya utama dari Bhikkhu Asvaghosa dalam ajaran Buddha adalah dalam Buddha Bhakti.
Pemahaman terhadap aliran Sarvāstivāda tercermin dalam karya Bhikkhu Asvaghosa meskipun pandangan Mahāyāna telah muncul dua atau tiga abad sebelumnya.
Informasi mengenai Bhikkhu Asvaghosa lebih banyak diperoleh dari hasil karyanya. Beliau berasal dari Saketa (Ayodhya), ibunya bernama Survanaksi. Hal tersebut dapat diketahui pada bagian akhir dari ketiga karyanya, yaitu : Buddhacarita, Sundarananda dan Sāriputraprakarana.
Kitab-kitab Buddhacarita dan Sundarananda adalah dua buah kitab yang terpenting dari Bhikkhu Asvaghosa yang berbentuk syair yang puitis. Naskah asli karya-karya tersebut diketahui oleh I-Tsing (meninggal dunia tahun 713) sudah diterjemahkan dalam bahasa China pada abad ke-7 dan terdiri dari 28 conto (jumlah yang sama di jumpai pula di Tibet). Oleh karena itu, disimpulkan bahwa naskah aslinya dalam bahasa Sansekerta juga terdiri dari 28 conto, namun dari jumlah tersebut hanya 17 conto saja yang ada.
Syair dari Bhikkhu Asvaghosa yang indah dan menurut I-Tsing banyak dibaca oleh kalangan luas ini, selain menggambarkan tentang kehidupan dan ajaran Buddha, juga memuat pengetahuan ensiklopedia tradisi mitologi di India serta sistem filsafat India sebelum zaman Buddha atau filsafat lainnya. Selain menulis dua syair yang terkenal itu, Bhikkhu Asvaghosa juga menulis tiga buah drama (ditemukan di Turfan, Asia Tengah, pada awal abad ke-20). Salah satu drama tersebut adalah Sāriputraprakarana yang ditulis dalam bahasa Sansekerta, terdiri dari 9 babak.

Bhikkhu Nagarjuna
Bhikkhu Nagarjuna adalah sahabat dari Raja Yajnasri Gautamiputra (166-196) dari kerajaan Satavahana. Peranan besar yang diberikan oleh Bhikkhu Nagarjuna sebagai seorang pemikir (filsuf) adalah menentukan arah titik-balik perkembangan Ajaran Buddha. Bhikkhu Nagarjuna meletakkan dasar-dasar dari ajaran Madhyamika, yang juga terkenal sebagai Sūnya Vāda.
Dalam bidang filsafat, Bhikkhu Nagarjuna dinilai sebagai pemikir dilektis terbesar. Karya filsafatnya yang terkenal yaitu Madhyamika Kārikā (Madhyamika Sastra) terbagi ke dalam 27 bab dan meliputi 400 kārikā. Bhikkhu Nagarjuna sebagai pemikir diakui sebagai pemikir besar yang tidak mempunyai tandingan di India.
Riwayat kehidupan Bhikkhu Nagarjuna yang diterjemahkan ke dalam bahasa China oleh Kuniarajiva sekitar tahun 405, menyebutkan bahwa beliau dilahirkan dari keluarga Brāhmaa di India Selatan. Huan-Tsang menyebut Kosala Selatan sebagai tempat kelahiran Bhikkhu Nagarjuna. Selanjutnya dikatakan bahwa Bhikkhu Nagarjuna mempelajari seluruh isi kitab suci Tipiaka hanya dalam waktu 90 hari, namun beliau tidak puas. Bhikkhu Nagarjuna menerima Mahāyāna Sūtra dari seorang Bhikkhu tua di pegunungan Himalaya yang sebelumnya menghabiskan waktunya di Sri Parvata (Sri Sailam) di India selatan pusat penyebaran ajaran Buddha.
Catatan tentang Bhikkhu Nagarjuna dalam naskah Tibet menyebutkan bahwa beliau pernah berdiam di Nalanda. Selanjutnya Huan-Tsang menyebutkan 4 matahari yang menyinari dunia dan yang dimaksud adalah Bhikkhu Nagarjuna, Bhikkhu Asvaghosa, Bhikkhu Kumāraladha (Kumāralata) dan Bhikkhu Aryadeva. Sebanyak 20 naskah dari Bhikkhu Nagarjuna didapati dalam bahasa China (18 diantaranya telah dicatat oleh Bunyiu Nanjio).

Sthavira Buddhapalita dan Sthavira Bhavaviveka
Sthavira Buddhapalita dan Sthavira Bhavaviveka keduanya merupakan eksponen aliran Sūnyavāda yang dasar-dasarnya diletakkan oleh Bhikkhu Nagarjuna. Mereka hidup pada abab ke-5 dan dalam sejarah perkembangan ajaran Buddha, mereka terkenal sebagai pendiri dua aliran yang mengutamakan penggunaan penalaran logika dalam Ajaran Buddha, yaitu aliran Prasangika dan aliran Svatantra.
Aliran Prasangika yang dipelopori oleh Sthavira Budhapalita mengembangkan pandangan yang mendorong individu (perorangan) mandiri dalam mencapai tujuan ajaran. Sementara aliran Svatantra yang dipelopori Sthavira Bhavaviveka mencoba untuk mengungkapkan kebenaran dari ajaran Madhyamika melalui argumen-argumen yang bersifat bebas (svatantra). Beberapa pemikir yang mewakili Madhyamika antara lain Aryadeva, Santideva, Santaraksita, dan Kamalasila.

Asanga dan Vasubandhu
Asanga dan Vasubandu adalah dua bersaudara yang hidup pada abad ke-4 serta merupakan pemikir Ajaran Buddha yang kreatif, yang telah membawa pemikiran filsafat klasik dalam Ajaran Buddha. Sebenarnya mereka adalah tiga bersaudara dan Asanga adalah yang sulung, Vasubandhu yang kedua dan yang bungsu bernama Virincivatsa.
Asanga dan Vasubandhu dilahirkan di Purusapura di negeri Gandhara serta berasal dari keluarga Brāhmaa Kausa-likagotra. Mereka berdua belajar Vibhasa-sastra di Kashmir.
Vibhasa-sastra adalah komentar-komentar yang terdiri dari Vinaya, Sūtra dan Abhidharma yang disusun pada sagāyanā yang diselenggarakan pada masa pemerintahan Raja Kanishka. Komentar yang mencerminkan pandangan Sarvāstivāda itu bertahan selama beberapa abad di Kashmir dan Gandhara serta masih populer pada abad ke-4.
Asanga dikenal sebagai guru terkemuka dari aliran Yogacara atau Vijñānavāda. Asanga diberitakan menghimbau adiknya Vasubandu untuk bergabung dengan aliran Yogacara serta meninggalkan Sarvāstivāda. Sebagaimana diketahui Asanga adalah murid dari Maitreyanatha, pendiri aliran Vijñānavāda. Karya Asanga yang terutama adalah :
01.  Mahāyāna Samparigraha
02.  Yogacara Bhūmi Sastra
03.  Mahāyāna Sūtralankara

Dua karya terakhir tersebut menceritakan tentang masalah-masalah etika (sīla) dan ajaran. Kitab Yogacara Bhūmi Sastra terdiri dari 17 Bhūmi, menguraikan secara rinci disiplin yang dilaksanakan dalam ajaran Yogacara. Kitab Mahāyāna Sūtralankara adalah karya bersama dari Asanga dan Maitreyanata.

Vasubadhu yang kemudian menganut pandangan aliran Vijñānavāda juga dikenal sebagai guru dari aliran Vaibhasika, suatu cabang dari aliran Sarvāstivāda. Karya terbesar dari Vasubandhu adalah kitab Abhidharmakosa yang merupakan ensiklopedi filsafat Ajaran Buddha, serta kitab aslinya mencerminkan pandangan Vaibhasika yang dominan di daerah Khasmir. Karya besar ini terdiri dari 600 karika dan merupakan hal yang tidak ternilai di Asia.
Selain menulis kitab Abhidharmakosa, Vasubandhu juga menulis kitab Paramathasaptati sebagai reaksi dari kitab Sanknyasaptati yang ditulis oleh seorang guru dan aliran Sanknya bernama Vindyavasi. Karya lain dari Vasubandhu adalah Tarkasastra dan Vāda Vidhi. Sebagai seorang guru ajaran Mahāyāna, Vasubandhu menulis komentar mengenai Saddharmapundarika Sūtra, Mahāparinirvāa Sūtra dan Vajrac-chedika-prajñā-pāramitā. Vijñāptimatrata Siddhi adalah karya lain dari Vasubandhu yang terdiri dari Vimsika (20 karika) dan Trimsika (30 karika).
Diantara para penerus Vasubandhu adalah Dinnaga (saudara bungsu Dharmapāla) dan muridnya Dharmakirti.

Dinnaga dan Dharmakirti
Dinnaga terkenal sebagai penawar logika dalam Ajaran Buddha. Dinnaga adalah pendiri aliran Nyāya dan beliau hidup pada awal abad ke-5. Sumber dari Tibet memberitakan bahwa Dinnaga lahir di Simha Vaktra (Kanci Selatan) dari keluarga Brāhmaa. Sebelum menganut pandangan Mahāyāna, Dinnaga adalah penganut paham Vatsiputriya dari Hīnayāna. Tradisi Tibet memberitakan bahwa Dinnaga adalah seorang murid Vasubandhu. Dinnaga juga mengunjungi Nalanda, Mahāvihāra, tempat beliau berdebat masalah ajaran dengan seorang tokoh logika, yaitu Brāhmaa Sudurjaya.
Dinnaga yang meninggal dunia di suatu hutan di wilayah Orissa diperkirakan menulis sekitar 100 karya. Sebagian dari karya Dinnaga masih tersimpan di dalam bahasa China dan Tibet.
Menurut I-Tsing, karya Dinnaga adalah buku acuan (teks book) ketika beliau berkunjung ke India. Di antara karya Dinnaga, yang terpenting adalah Pramana-samuccaya (karya terbesar), Nyāya Pravesa, Hetucakradamaru, Pramana Sastra Nyāya Pravesa, Ālambana Pariksa dan lain-lain yang pada umumnya sukar untuk dipahami.  Dilihat dari kitab-kitabnya, Dinnaga menjembatani pandangan kuno dari sistem Nyāya di India dengan Ajaran Buddha (Mahāyāna).
Dharmakirti terkenal sebagai seorang pemikir yang bijaksana, yang pemikirannya bukan saja berpengaruh dalam Ajaran Buddha tetapi juga dalam pemikiran filsafat di India. Karya Dharmakirti yang terkenal bernama Pramma Vartika, ditemukan di Tibet, yang aslinya ditulis dalam bahasa Sansekerta.
Karya-karya lain dari Dharmakirti yang pada umumnya membahas ilmu pengetahuan, ajaran Buddha terdapat dalam Pramana Viniscaya, Nyāya Bindu, Sambandha Pariksa. Hetu Bindu, Vandanyāya, dan Samanantara Siddhi.








YANG ARYA NAGARJUNA

(Naga Raja Filsafat Pembabar Dharma)

Diantara sekian banyak sutra yang diterjemahkan oleh Kumarajiva, beberapa diantaranya adalah karangan dari Nagarjuna, seorang ahli sastra dan filsafat, pembabar Dharma, penulis sutra, pendiri sekte jalan tengah atau yang lebih dikenal dengan Madhyamika. Nagarjuna merupakan tokoh penting dalam perkembangan agama Buddha, setelah para murid langsung Hyang Buddha Parinibbana. Beliau membawa pengaruh besar kepada Buddhisme di China dan Jepang sehingga berkembang sangat pesat, memperkenalkan praktek Dharma dengan sederhana. Pada masa Madhyamika inilah gerakan Mahayana timbul secara nyata. Merubah tujuan dari Arahat menjadi Bodhisattva dan Samyak Sambuddha.

Nagarjuna merupakan seorang Brahmana yang lahir di India Selatan di kota Vidarbha (yang berarti tanah pohon palem) pada tahun 150 M, sekitar 400 tahun sesudah Hyang Buddha Mahaparinibbana. Brahmana tersebut sebelumnya tidak memiliki putra. Suatu hari Brahmana tersebut bermimpi bahwa ia akan memiliki putra bila ia memberi persembahan kepada 100 Brahmana lainnya. Akhirnya sepuluh bulan kemudian putranya lahir.

Seorang peramal mengatakan bahwa bayi ini hanya akan bertahan hidup selama 7 hari, kecuali bila orangtuanya mau memberi persembahan kepada 100 orang bhikkhu maka putra mereka akan hidup selama 7 tahun. Setelah anak itu berumur hampir 7 tahun, orang tuanya yang tak tega melihat kematiannya membawa dia pergi dari kota bersama beberapa pelayan. Selama perjalanannya, beliau melihat Dewa Khasarpana (manifestasi dari Arya Avalokitesvara). Sejak kecil, Nagarjuna terkenal pintar, bijaksana, dan memiliki ingatan yang tajam. Ketika beranjak dewasa, ia mempelajari filsafat, sastra dan mantra-mantra.

Dalam perjalanannya, ia sampai ke sebuah vihara bernama Nalanda. Di vihara itu ia membacakan puisi dengan indah dan terdengar oleh bhikshu Saraha. Salah satu pelayannya menceritakan riwayat hidup anak kecil yang sangat menarik hati Saraha tersebut. Saraha mengatakan bila ia berjanji untuk melepaskan kehidupan duniawi dan rajin membaca mantra, maka ia akan berumur panjang. Anak kecil itu setuju dan mulai melatih membaca mantra mandala Amitabha Buddha serta mantra Dharani. Pada ulang tahunnya yang ke tujuh, ia masih tetap hidup.

Pada usia delapan tahun, ia mulai mempelajari teks-teks Budhisme dan Dharma. Suatu hari kembali dan meminta ijin pada orang tuanya untuk menjadi Sangha. Ia kemudian dikenal sebagai Bhiksu Srimanta. Bhikkhu Srimanta mendapat kesempatan menjumpai seorang guru bernama Ratna Mati, beliau adalah manifestasi dari Manjusri Bodhisattva.

Pada suatu waktu, bahaya kelaparan berkepanjangan di Magadha terjadi, mengakibatkan populasi turun drastis. Kepala vihara, Bhiksu Bhadra Rahula Sthavira menyuruh Bhiksu Srimanta untuk meminta ajaran kimia kepada seorang Brahmana. Ia memberikan dua lembar daun dari kayu cendana. Yang satu harus dipegang di tangan dan yang satu harus diletakkan di sepatu. Lalu pergilah ia menemui Brahmana yang dimaksud untuk mendapatkan “Resep Mujarab” yang dapat merubah besi menjadi emas.

Brahmana tersebut terkejut karena seseorang harus memiliki keahlian khusus baru dapat ke tempatnya. Brahmana itu mengatakan, “Pengetahuan dibalas dengan pengetahuan atau harus dibayar dengan emas”. “Baiklah”, jawab Bhiksu Srimanta, “Kita harus saling bertukar pengetahuan.” brahmana yang tertarik segera memberikan instruksi untuk kembali ke Magadha. Sesuai petunjuk Brahmana tersebut, beberapa cairan kimia dituangkan ke besi dan berubah menjadi emas.

Setelah kejadian itu, Bhiksu Srimanta yang tadinya menjadi pelayan para bhiksu menjadi pelayan ketua Vihara Nalanda. Dalam waktu singkat ia menemukan banyak anggota Sangha yang memiliki moral yang buruk. Ia mengeluarkan 8000 bhiksu dan sramanera. Pada masa itu terdapat seorang bhiksu yang bernama Samkara yang mengajarkan ajaran yang salah. Ia mengeluarkan sebuah kitab yang disebut sumber pengetahuan. Kitab tersebut berisi 12.000 ayat yang menyudutkan doktrin Mahayana. Dengan kepandaian dan logika, Bhiksu Srimanta melawan semua ayat itu. Ia juga menunjukkan kitab-kitab lain yang tidak sesuai dengan ajaran Mahayana. Srimanta juga bertemu dengan 500 mahasiswa nonbuddhis di Jatasamghata, mengadakan debat dengan mereka dan tidam mematahkan semua uraian yang salah pengertian tentang Mahayana.

Berikutnya, Bhiksu Srimanta rajin mempelajari Tripitaka ketika suatu hari datanglah dua anak muda penjelmaan dari putra naga Taksala. Kedua putra naga itu mengundang Srimanta ke istana mereka untuk mengambil kitab yang telah disimpan Hyang Buddha selama 500 tahun di dasar laut. Berisi ceramah-ceramah Hyang Buddha baik yang tersurat maupun yang tersirat, untuk manusia yang telah banyak berbuat akusala karma. “karena saya sudah disini, mohon serahkan sutra Mahaprajnaparamita Sutra yang terdiri d dari 10.000 ayat. Saya akan segera kembali ke dunia”. Kata Srimanta. Namun raja naga hanya memberikan 8000 ayat.

Setelah itu, ia menyebarkan ajaran Mahayana lebih giat lagi. Sampai suatu hari ketika ia memberikan khotbah Dharma di sebuah taman vihara dibawah pohon arjuna, enam ekor naga membentuk badan mereka menjadi sebuah payung yang melindunginya dari terik matahari. Orang-orang yang melihat mengira beliau adalah raja naga, memanggilnya “Nagarjuna”. Nagarjuna membangun banyak vihara dan sekitar 180 stupa untuk menempatkan relik Hyang Buddha di Magadha, Sravasta, Saketa, Campaka, Varanasi, Rajagraha dan Vaisali.

Dalam mengajarkan Mahaprajnaparamita Sutra, ia menyadari tidak semua orang mampu menangkap makna yang sesungguhnya. Oleh karena itu ia mendirikan ajaran Jalan Tengah yang menonjolkan tentang kesunyataan (kekosongan). Ia mengarang 6 sifat kebijakan berdasarkan logika yang diambil dari sabda-sabda Hyang Buddha.

Setelah masa itu,  Nagarjuna berdiam di gunung Urisa yang ada di utra. Ia ditemani oleh 1000 orang muridnya hingga beberapa orang muridnya mencapai tingkat siddhi Mahamudra. Setelah itu ia berjalan ke utara, ke Kurava. Sebelum sampai Nagarjuna tiba di kota Salamana. Dimana ia bertemu seorang anak yang bernama Jetaka. Dari garis tangannya Nagarjuna tahu suatu hari anak muda ini akan menjadi raja. Begitulah yang terjadi, setelah bertahun-tahun mengajarkan Dharma di Kurava, suatu hari anak muda yang dulu ditemuinya kini telah menjadi raja. Raja muda itu memberi banyak permata sebagai tanda penghormatan kepada Nagarjuna. Untuk membalas kebaikan raja, Nagarjuna memberinya permata paling berharga yaitu: Dharma. Nagarjuna memberikan Trisarana dan memberi beliau nama Buddhis yaitu Ratnavali.

Setelah meras tugasnya di utara selesai, Nagarjuna berjalan ke arah sebaliknya di selatan. Di selatan inilah Nagarjuna menyelesaikan sutra Dharmadhatu Stava. Beliau juga dengan tekad yang tinggi, memutar roda Dharma di selatan. Hingga saat itu, Nagarjuna telah memiliki banyak karya Dharma yang terbagi atas 3 kategori, yaitu:
  1. koleksi Dharma desana dan karangan seperti : Ratnavali, Surlekha, Prajna Sataka, Prajna Danda, dan Janaposana Bindu.
  2. koleksi sutra penghormatan keagungan seperti: Dharmadhatu Stava, Lokatita Stava, Acintya Stava dan Paramatha Stava
  3. koleksi karangan pemahaman dan pemikiran logika seperti: Mulamadhyamika Karika, dan lainnya.
Nagarjuna banyak menulis ulasan risalah tentang sutra dan mantra, menjelaskan, mendeskripsikan, membabarkan banyak ajaran Hyang Buddha, layaknya seorang Manusi Buddha turun kembali ke bumi.

Nagarjuna juga dikenal sebagai guru Dharma yang mencetuskan 3 proklamasi Dharma. Yang pertama adalah ketika beliau dengan berani menegakkan vinaya yang sebenarnya bagi para Sangha di Vihara Nalanda sekaligus meniadakan dan membetulkan aturan vinaya yang salah. Sebuah catatan menyebutkan Nagarjuna laksana Hyang Tatthagata ketika pertama kali memutar roda Dharma yang pertama kali. Kedua ketika beliau memberikan penjelasan yang terperinci mengenai konsep jalan tengah, baik secara lisan dalam pembabaran Dharmadesana, maupun dalam tulisan melalui karya-karya risalahnya. Ketiga ketika ia berada di selatan mendedikasikan diri membuat ulasan serta sutra penghormatan keagungan.

Rupanya kemashyuran Nagarjuna membuat Mara dan para setan menjadi iri. Adalah seorang anak bernama Kumara Saktiman, putra dari raja Udayibhadra. Suatu hari ibunya membawakannya pakaian kebesaran ayahnya. Kumara mengatakan, “Singkirkan baju itu bu, saya akan memakaikannya ketika saya telah menjadi raja.” Lalu ibunya berkata, “Kamu tidak akan pernah menjadi raja nak, karena ayahmu pernah bertemu Nagarjuna!” lalu ibunya melanjutkan “Nagarjuna telah menjampi-jampi ayahmu, bahwa ayahmu tidak akan pernah meninggal sebelum beliau meninggal.” Kumara menangis sedih, tetapi ibunya malah menghardiknya. “jangan menangis cengeng begitu! Nagarjuna adalah seorang Bodhisattva, kau tinggal datang kepadanya dan meminta kepalanya, dia pasti tidak akan marah atau menyerangmu. Dengan begitu, ayahmu juga akan meninggal dan seluruh kerajaan ini akan menjadi milikmu dan boleh kau perintah sesukamu.”

Anak itu mengikuti perintah ibunya untuk menemui Nagarjuna, dan memang beliau langsung menyanggupi, sama sekali tidak marah apalagi menyerang. Tetapi betapa tajampun pedang yang digunakan Kumara, pedangnya tidak dapat memenggal kepala nagarjuna. Nagarjuna berkata, “dikehidupan sebelumnya, ketika saya sedang memangkas rumput, tanpa sengaja saya telah membunuh seekor serangga. Kecelakaan itu terus teringat oleh saya, dan sama seperti waktu itu, kamu akan mendapatkan kepala saya kalau kamu memotongnya dengan sabit pemotong rumput.”

Anak itu langsung mengambil sabit lalu memenggal kepala Nagarjuna. Darah menetes dan terus mengalir dari lehernya bagai susu yang dituang. Ketika kepala Nagarjuna telah terpisah dari tubuhnya, kepala itu berkata, “Pada saat ini saya telah merasuki surga Sukhavati. Di masa depan, saya akan kembali dengan wujud ini lagi.”

Pangeran yang takut kepala itu akan menyatu lagi dengan badannya, langsung membungkus kepala itu dan membawanya pergi. Peristiwa itu terjadi tahun 250, ketika beliau telah berusia 100 tahun. Legenda mengatakan Nagarjuna yang menguasai ilmu rasayana, baik kepala dan badannya akan selalu bersatu. Perlahan-lahan, semakin tahun semakin mendekati hingga sekali lagi menjadi satu. Banyak yang mempercayai hal itu karena Nagarjuna selalu mengembangkan cinta kasih dan selalu menyayangi segala bentuk kehidupan. Walaupun tidak ada yang tahu pasti apakah Nagarjuna memang hidup selama 600 tahun.

Hal tersebut diperkuat dengan sebuah syair pada sutra Manjusrimulakalpa yang mengatakan bahwa Nagarjuna hidup selama 600 tahun. Syair itu berbunyi. “Setelah saya, Tathagata, Mahaparinibbana dan melewati 400 tahun lamanya, seorang bhiksu “Hyang Naga” akan hidup, dengan keteguhan tekad dan kepiawaian membabarkan Dharma yang dimilikinya, akan membawa kebahagiaan dan masa keemasan, dan akan tetapi hidup selama 600 tahun.”

Dalam salah satu catatan biografi Tibet mengenai seorang raja bernama Gautamaputra disebutkan bahwa ketika ia telah naik tahta, ia membutuhkan seorang penasihat spiritual. Dalam kebimbangan kriteria pemilihan, entah bagaimana dikatakan bahwa ia bertemu dengan seorang yang meminta nasihat. Orang tersebut menyebutkan kriteria penasihat spiritual adalah orang selalu bertindak bijaksana serta dalam keadaan bahaya sekalipun selalu menjunjung tinggi nilai cinta kasih. Dan orang itu menyebutkan contoh seperti dirinya yang menyetujui kepalanya dipenggal dengan sabit pemotong rumput. Hal itu dikarenakan adalah buah karma masa lampaunya yang telah tanpa sengaja memotong makhluk hidup dengan sabit.

Agama Buddha Vajrayana mengakui Nagarjuna sebagai “Buddha Kedua”. Nagarjuna menyebutkan kerancuan Budhisme Selatana dan Utara yang terjadi pada waktu itu dengan pikiran, pemahaman logika, dan berdasarkan panduan sutra yang ada. Ia memberikan pemahaman melalui jalan tengah dan konsep kesunyataan dan bahwa semua adalah Dharma.

Biografi asli Nagarjuna, pertama kali diterjemahkan dalam dua versi, bahasa Mandarin dan Tibet. Di dalamnya terdapat banyak pengalaman Nagarjuna yang mengetengahkan kesaktian dan kemampuannya, yang sebagian proporsinya berbau mistik. Bagaimanapun, penggabungan catatan sejarah, cerita legenda yang beredar, penggabungan tulisan-tulisan beliau maupun sutra dan catatan lainnya, tekad beliau dalam memutar roda Dharma, tak dapat disangkal lagi, dalam kehidupannya, beliau adalah seorang Dharma Duta dan Bhiksu Buddhis yang luar biasa.



Didalam Buddhisme aliran Mahayana, yang dinamai zat (= matter), adalah pengalaman yang dikonseptualisasikan. Agar supaya membentuk suatu model yang bersifat simbolis atau konseptual, dari pengalaman, yaitu misalnya pengalaman mengenai dunia, atau tubuh, atau otak, tugas kita akan terasa enak, tidak sukar, apabila kita mau menganggap pengalaman itu sebagai zat (= matter = stuff), Dunia material itu sesungguhnya tidak berat, padat, atau menekan. Itu hanyalah merupakan suatu model konseptual dari pengalaman, yang juga ada didalam pengalaman. Jadi, istilah rupa, yang dipergunakan oleh Buddhisme aliran Theravada, itu berarti zat (= matter), dan oleh aliran Mahayana, berarti bentuk (= form), atau model konseptual.

Filsafat pengetahuannya Mahayana, tentang alam, itu terbagi menjadi roh (= spirit) dan zat (= matter), dan mentransformasikannya menjadi kekosongan (= emptiness) dan bentuk (= form), yaitu menjadi pengalaman total dan model-model konseptual. Dan itu mentransformasikan pandangan yang religious dari dunia material, yang muncul dari dan berada didalam dunia spiritual, menjadi pandangan ilmiah tentang model-model konseptual, yang muncul dari dan berada didalam pengalaman aktual yang bersifat total.

Itu cukup bersifat revolusioner, tetapi filsafat ilmu pengetahuannya Mahayana, memiliki keterangan lebih lanjut. Dengan mengatakan bahwa pengalaman aktual yang bersifat total, itu saja yang merupakan kasunyataan yang hakiki, maka itu membuat tidak bersuaranya semua metaphysika, baik yang ada didalam, maupun yang ada diluar, dari ilmu pengetahuan. Itu memperkuat fakta bahwa kasunyataan yang ilmiah itu tidak pernah lebih dari kasunyataan yang relative, yang memiliki nilai yang besar, tetapi diterangkan lebih lanjut, dan dikatakan bahwa suatu kasunyataan, yang verbal, atau yang numerical, yang sifatnya religious, dan philosophis, atau jenis lainnya semacam itu, dapat juga tidak pernah meng-claim untuk berkeadaan lebih besar nilainya dari pada kasunyataan yang bersifat empiris dan relative. Itu menolak validitasnya sesuatu kasunyataan yang absolut dan yang hakiki lainnya, dengan pernyataan oleh sesuatu system non-ilmiah dari fikiran, karena adalah tidak mungkin ada sesuatu, yang berada diatas, disebelah sananya, atau diluar pengalaman yang bersifat total.

Penolakan Pangeran Siddhartha terhadap Ke-Aku-an Hindu (= Hindu Self) itu mungkin dapat diperluas sampai kepada Yang Absolut dari sesuatu filsafat yang metaphysis, Dewa, Surga, dan Neraka, saya fikir, oleh karena itu juga "Diri saya"; semuanya adalah konsep-konsep, hanya kata-kata, yang terdapat didalam pengalaman. Semua kumpulan fikiran, - dari Agama-Agama, Filsafat-Filsafat, dan Buddhisme itu sendiri semuanya adalah model-model konseptual, dan semua terbuka bagi testing secara langsung, terhadap pengalaman dengan sifat ketatnya dari methode ilmiah. Bahkan apabila Surga dan Neraka itu ternyata, setelah dibuktikan secara ilmiah, benar-benar ada, itu tetap hanya merupakan bagian dari pengalaman total, dan tidak akan dapat didalam cara apa pun, melebihi, atau bersifat transcendent, diatas pengalaman total.
Nagarjuna, bahkan melangkah lebih lanjut lagi, - yaitu didalam arah bersaing dengan yang absolut lainnya, didalam system pemikiran lainnya. Beliau tidak menyampaikan argumentasinya dari sudut pandangan ilmiahnya sendiri, dan menyadari bahwa itu adalah hanya salah satu dari banyak sudut pandangan ilmiah lainnya. Nagarjuna mempergunakan methode dialectic, yaitu beliau menyampaikan seperangkat uraian, untuk membuktikan ketidak-benaran dari semua filsafat metaphysis, atas dasar istilahnya sendiri. Inilah sebabnya mengapa tulisan-tulisan Nagarjuna itu penuh dengan begitu banyak hal-hal yang sangat cemerlang, tetapi dengan analisa philosophis yang sangat sukar.


Dia membuktikan bahwa tidak ada religi atau philosophi yang secara logis dapat mendukung pernyataannya sendiri, dengan mengatakan bahwa pengetahuannya meliputi kasunyataan yang absolut, dan dengan demikian memungkinkan filsafat ilmu pengetahuannya meng-claim bahwa hanya filsafat ilmu pengetahuannya sendiri yang merupakan filsafat pengetahuan yang valid.

Kalau kita ringkaskan semua yang telah kita kemukakan diatas itu, maka dapatlah kita jelaskan bahwa filsafat ilmu pengetahuannya Buddhisme itu sungguh-sungguh bersifat revolusioner, dengan alasan-alasan sebagai berikut ini :
Ilmu-ilmu pengetahuan mengetahui bahwa kasunyataan yang ilmiah adalah bersifat relative atau empiris, serta didasarkan pada pengalaman yang aktual. Buddhisme juga menerima kasunyataan empiris, dan mendapati bahwa itu terdapat pada sunyata. Saya percaya bahwa Sunyata itu menunjuk kepada pengalaman yang aktual, dan dengan demikian Buddhisme juga berkata bahwa kasunyataan yang empiris itu haruslah terdapat pada pengalaman yang aktual.
Saya percaya bahwa filsafat ilmu pengetahuannya Buddhisme itu bersifat revolusioner, karena tidak didasarkan kepada pengalaman keindiriaan, tetapi didasarkan kepada pengalaman total; dan karena Buddhisme mengatakan bahwa hanya pengalaman aktual yang total saja yang merupakan kasunyataan yang hakiki, atau yang paling tinggi. Ini mencegahnya untuk tidak mengalamai pecahnya menjadi ilmu pengetahuan yang sifatnya "material", yang berat, dan prosaic, serta religi, philosophi, dan seni, yang sifatnya "spiritual", liberal, dan transcendent. Itu mencakup yang bersifat "material", dan yang bersifat "spiritual", technology dan liberal, yang keduanya terdapat pada satu filsafat ilmu pengetahuan. Lagi pula, itu secara khusus menolak kasunyataan yang religious, dan metaphysis, dan mengemukakan claimnya bahwa hanya filsafat ilmu pengetahuan (= philosophy of science) saja, satu-satunya yang valid, dari filsafat pengetahuan (= philosophy of knowledge) yang ada.

Kalau Dunia Barat itu sangat hebat didalam hal systematisasinya dan applikasinya kasunyataan empiris, maka Dunia Timur, memiliki, pada Buddhisme, suatu filsafat ilmu pengetahuan yang lebih tua dan lebih maju dari pada yang dimiliki Dunia Barat. Seluruh sejarah ilmu pengetahuan itu perlu ditulis ulang kembali. Pangeran Siddhartha, yang kemudian menjadi Buddha, itu adalah merupakan filsuf bidang filsafat ilmu pengetahuan, yang pertama, yang memberikan kepada Dunia Timur, tradisi ilmiah setua seperti yang dimiliki oleh Dunia Barat, dan sumbangan utamanya kepada Dunia Filsafat, adalah berupa meletakkan dan membuat filsafat ilmu pengetahuan bersifat universal dan revolusioner.

Senin, 21 November 2011

Vesak / Waisak 2012

When Is Vesak 2012 / Wesak 2012?

Vesak Day 2012
When is Vesak 2012? Vesak 2012 falls on Saturday, 5 May 2012, which is the 15th day in the 4th month of Chinese lunar calendar. However, some countries observes the Vesak Day 2012 on different dates.
Vesak Day 2011
When is Vesak 2011? Vesak 2011 falls on Tuesday, 17 May 2011, which is the 15th day in the 4th month of Chinese lunar calendar. However, some countries observes the Vesak Day 2011 on different dates.
Date Of Vesak Day
Vesak 2012 is celebrated by Buddhist around the world, and in different manners all over the world. Though some countries occasionally use different date for this festival, many would fall on the same day.
The exact date of Vesak Day varies according to the various lunar calendars used in different countries and traditions. In Theravada countries following the Buddhist calendar, it falls on the full moon Uposatha day (typically the 5th or 6th lunar month). Vesak Day in China, Hong Kong and Macau is on the eighth of the fourth month in the Chinese lunar calendar.
Thus the date varies from year to year, but as general consensus in many countries, falls on the full-month day in May.
The decision to agree to celebrate the Vesak as the Buddha’s birthday was formalized at the first Conference of the World Fellowship of Buddhists held in Sri Lanka in 1950, although festivals at this time in the Buddhist world are a centuries-old tradition. The Resolution that was adopted at the World Conference reads as follows:
“That this Conference of the World Fellowship of Buddhists, while recording its appreciation of the gracious act of His Majesty, the Maharaja of Nepal in making the full-moon day of Vesak a Public Holiday in Nepal, earnestly requests the Heads of Governments of all countries in which large or small number of Buddhists are to be found, to take steps to make the full-moon day in the month of May a Public Holiday in honour of the Buddha, who is universally acclaimed as one of the greatest benefactors of Humanity.”

Vesak Day Around The World

Vesak Day is often referred to with other names in each country. Official names of Vesak Day are Vesākha, Vesak, Wesak, Waisak, Visakah Puja, Vaishaka, Buddha Purnima, Visakha Bucha, Saga Dawa, 佛誕 (fó dàn), Phật Đản, and วิสาขบูชา
In Mahayana Buddhist traditions, the holiday is known by its Sanskrit name, वैशाख Vaiśākha, and derived variants of it. Vesākha is known as Vesak or Wesak (衛塞節) in the Sinhalese language.
It is also known as:
* बुद्ध पुर्णिमा/বুদ্ধ পূর্ণিমা Buddha Purnima or बुद्ध जयंती/বুদ্ধ জয়ন্তী Buddha Jayanti in India, Bangladesh and Nepal
* 花祭 (Hanamatsuri) in Japan,
* 석가 탄신일 Seokka Tanshin-il (Hanja: 釋迦誕身日) in Korean (Korea),
* 佛誕 (Mandarin: Fódàn, Cantonese: Fātdàahn) in Chinese-speaking communities in China, Singapore, Taiwan.
* Phật Đản in Vietnamese (Vietnam),
* ས་ག་ཟླ་བ། Saga Dawa (sa ga zla ba) in Tibetan (Tibet),
* (Kasone la-pyae Boda nei), lit. “Full Moon Day of Kason,” the second month of the traditional Burmese calendar (Burma)
* វិសាខបូជា Visak Bochéa in Khmer (Cambodia),
* ວິຊຂບູຊ Vixakha Bouxa in Laotian (Laos)
* วันวิสาขบูชา Visakah Puja, Vesakha Puja, or Visakha Bucha in Thai (Thailand),
* Waisak in Indonesia,
* වෙසක් පසළොස්වක පෝය Vesak / Wesak in Sri Lanka and Malaysia
Singapore Vesak 2012
The Vesak Day is an extremely important occasion observed in Singapore. Huge crowds will usually assemble at various Buddhist temples around the city. Inside the Buddha temples the monks chant sacred hymns and a large number of devotees set caged-birds free. Setting the imprisoned birds free is considered as a graceful gesture which serves as a mark of respect to all living creatures in the world. On this day, Singapore Buddhist youths organize blood donation camps and distribute gifts to the poor people. During the evenings, candlelit processions are found walking across the streets of Singapore and this is how the festival is ended.
You can observe the Vesak Day festival in Singapore for free as people can enter the temples free of charge. Some of the best points in the city for observing the festivities of Vesak Day in Singapore are the Buddhist Lodge at River Valley Road, The Thai Buddhist Temple at Jalan Bukit Merah and Lian Shan Shuang Lin Temple at Jalan Toa Payoh.
The Singapore Vesak Day is always celebrated in the month of May and is a yearly event. Vesak 2012 is celebrated on Saturday, 5 May 2012 in Singapore.
Hari Waisak 2012 In Indonesia
Hari Waisak celebrations in Indonesia generally follows the decision of The World Fellowship of Buddhists. Hari Waisak 2012 in Indonesia will be celebrated on Saturday, 5 May 2012. Traditionally, the celebration is focused nationally on the complex of Borobudur Temple in Central Java.
Rituals of national Waisak (Vesak) celebration in Indonesia usually observe following ceremonies:
1. Taking blessed water from the spring of Jumprit in Temanggung Country and torch ignition with the eternal flame of Mrapen, Grobogan County.
2. “Pindatapa” ritual, a ritual of giving food to the monks by the congregation to remind that the monks had devoted his life without livelihoods.
3. Meditation on the peak of the full moon. Determination of the full moon is based on the calculation of astronomy, so that the peak of the full moon can also occur during the daytime.
Besides the three main ceremonies, other Waisak ceremonies that were also conducted are pradaksina, parades, and art events.
2012 Wesak Day in Malaysia
Wesak Day is the most important festivals of the Buddhists in Malaysia and fall in the month of May. In Malaysia, 2012 Wesak (Vesak) Day will be celebrated on Saturday, 5 May 2012.
Vesak is celebrated to commemorate the birth, enlightenment and death of Lord Buddha because according to Buddhists, all the three events took place on the same lunar date.
The Wesak day celebrations begins much before the dawn when the Malaysian Buddhist devotees gather in Buddhist temples for worship all over Malaysia. The Buddhists will then hoist the Buddhist flag and sing hymns in praise of the holy triple gem namely; The Buddha, The Dharma (his teachings) and The Sangha (his disciples). The celebration is done with prayers, chants, offerings and giving alms. Simple offerings are also brought to the temple such as flowers while prayers using candles and joss-sticks are used.
The Buddhist eat a vegetarian diet prior to the festival in order to cleanse and purify themselves. Animals such as doves and tortoises are released by the Malaysian Buddhist devotees on the Wesak Day as a symbolic gesture of releasing the soul and giving up the past sins. Besides that, this particular act is also seen as a way of giving freedom for those that are held against their will or being tortured. Free meals are also given to the needy on the Wesak Day.
Wesak 2012 in Sri Lanka
In Sri Lanka the Wesak Festival is celebrated as a religious and a cultural festival in Sri Lanka on the full moon of the month of May, for two days. In Sri Lanka, Wesak 2012 will be celebrated from Saturday, 5 May 2012 to Sunday, 5 May 2012.
During these two days, the selling of alcohol and flesh is prohibited by government decree. As a symbolic act of liberation, birds, insects and animals are released in huge numbers.
Celebrations include various religious and alms giving activities. Electrically lit pandols called toranas are erected in various locations in Colombo and elsewhere, most sponsored by donors, religious societies and welfare groups. Each pandol illustrates a story from the 550 Jataka Katha or the 550 Past Life Stories of the Buddha.
In addition, colourful lanterns called Vesak koodu are hung along streets and in front of homes. They signify the light of the Buddha, Dharma and the Sangha. Many devout Buddhists wear simple white dresses on Vesak Day and spend the whole day in temples with renewed determination to observe the observance of the Eight Precepts of Buddhism.
Vesak celebration also means making special efforts to bring happiness to the people in more straightened circumstances. Food stalls set up by Buddhist devotees called dansälas provide free food and drinks to passersby. Groups of people from various community organisations, businesses and government departments sing bhakti gee or Buddhist devotional songs. Colombo experiences a massive influx of public from all parts of the country during this week.
2012 Buddha Purnima in India
In India, Vesak Day is known as Buddha Purnima. On this day, Buddhists do not eat meat. This is considered an act of compassion towards animals. People are encouraged to perform other acts of kindness such as sharing food with the poor. Some people even set up road stalls providing free, clean drinking water. Buddha Purnima 2012 will be celebrated on Saturday, 5 May 2012 in India.
Birth of Buddha or Tathagata is celebrated in India, especially in Sikkim, Ladakh , Arunachal Pradesh, Bodh Gaya and Maharashtra (where 6% of total population are Buddhists) and other parts of India as per Indian calendar. Buddhist People go to common Viharas to observe a rather longer-than-usual, full-length Buddhist sutra, as something like a service. The usual dress is pure white. Non-vegetarian food is normally avoided. Kheer, a sweet rice porridge is commonly served to recall the story of Sujata, a maiden who, in Gautama Buddha’s life, offered the Buddha a bowl of milk porridge.
The Buddhists bathe and dress only in white clothes. They gather in their viharas (monasteries) before sunrise to worship Buddha, offer alms to the bhikshus (monks), hoist the Buddhist flag, and sing hymns admiring the sacred triple treasure: The Buddha, The Dharma (his teachings), and The Sangha (his disciples).
Many devotees offer flowers, candles, and joss sticks at the feet of the monks. Such a ritual allows a Buddhist to reflect on the truth that just as the magnificent flowers shrink and the candles and joss sticks burn out in short time, our life span is too short and will decay soon.
Several followers listen to the continuous speech on the life and preaching of the Buddha throughout the day or request monks to come to their homes. Buddhist monks recite 2500 years old verses obtained from Buddha and urge people to respect other religions.
2012 Hanamatsuri in Japan
In Japan, Vesākha or hanamatsuri (花祭) is also known as: Kanbutsu-e (灌仏会), Goutan-e (降誕会), Busshou-e (仏生会), Yokubutsu-e (浴仏会), Ryuge-e (龍華会), Hana-eshiki (花会式). It is not a public holiday. It is based on a legend that a dragon appeared in the sky on his birthday and poured soma over him.
It used to be celebrated on the 8th day of the fourth month in the Chinese Lunar Calendar, based on one of the legends that proclaims the day as Buddha’s birthday. At present, the celebration is observed on April 8 of the Solar Calendar since the Meiji government adopted the western solar calendar as the official calendar. Since the 8th day of the fourth month in the lunar calendar commonly falls in May of the current solar calendar, it is now celebrated about a month earlier. Thus in Japan, 2012 Vesak Day will be celebrated on Sunday, 8 April 2012.
In Japan, the general populace are not practicing Buddhists (and may be called casual Buddhists), so most Buddhist temples provide a way to allow the general public to celebrate and participate in only the aspect of the day being Buddha’s birthday, providing the statue of baby Buddha and allowing the populace to worship or pay respect by pouring ama cha, a tea made of Hydrangea. In Buddhist temples, monasteries and nunneries, more involved ceremonies are conducted for practicing Buddhists, priests, monks and nuns. Also, there are public festivals made out of the day in some areas.
2012 Visakha Bucha in Thailand
In Thailand, where majority of the population are buddhists, ach year, the nationwide festival of Vesak Day is held to pay tribute to the birth, enlightenment and death of Buddha. The Vesak Day will fall on Monday, 4 June 2012, however celebrations can be seen for more than a week.
In Thailand, people will congregate around the Buddhist temples to pray and give thanks to the deity on the Vesak Day. Monks dressed in their saffron robes will lead sermons and services throughout the day, with candlelit processions often taking place once night has fallen.
2012 Buddha Poornima in Nepal
The birth of the Buddha is often celebrated by Buddhists in Nepal for an entire month in the Buddhist calendar. The actual day is called Buddha Poornima (or Buddha Purnima), also traditionally known as Vaishakh Poornima. In Nepal, Buddha Poornima 2012 will fall on Saturday, 5 May 2012.
The event is celebrated by gentle and serene fervour, keeping in mind the very nature of Buddhism. People, especially women, go to common Viharas to observe a rather longer-than-usual, full-length Buddhist sutra, as something like a service. The usual dress is pure white. Non-vegetarian food is normally avoided. Kheer, a sweet rice porridge is commonly served to recall the story of Sujata, a maiden who, in Gautama Buddha’s life, offered the Buddha a bowl of milk porridge after he had given up the path of asceticism following six years of extreme austerity. This event was one major link in his enlightenment.
It is said that the Buddha originally followed the way of asceticism to attain enlightenment sooner, as was thought by many at that time. He sat for a prolonged time with inadequate food and water, which caused his body to shrivel so as to be indistinguishable from the bark of the tree that he was sitting under. Seeing the weak Siddhartha Gautama, a girl named Sujata placed a bowl of milk in front of him as an offering. Realizing that without food one can do nothing, the Buddha refrained from harming his own body.
2012 Buddha Birthday in China, Hongkong and Taiwan
In the Chinese speaking countries of Hongkong, China, as well as Taiwan, the Vesak Day called Guanfo (bathing the Buddha) or Yufo (Buddha’s birthday celebration featuring washing Buddha image with perfumed water). The celebrations begin before sunrise and devotees throng the temples early at dawn to meditate. Chanshi (the ceremony of chanting the sutras and confession and prayer) is practiced by monks.
As the day progresses, Buddhist devotees visit orphanages, welfare homes, homes for the aged and charitable institutions to distribute cash donations and gifts to the needy. On this occasion, caged birds are freed to symbolize humanity and compassion.
The celebration is also marked with the devotees performing the “bathing Buddha” ritual where they held a wooden ladle and poured water over a small statue of the Buddha. Bathing a statue of the Buddha symbolizes a fresh start in life and the care given to newborn babies.
Legend has it that when the historical Buddha, Prince Siddhartha, was born, there were auspicious signs heralding his birth. They describe the sky as blue and clear on his birth, with dragons spurting purified water to bathe him. Since then, Buddhists have celebrated his birthday by using fragrant water to bathe the image of Buddha.
In these East Asia countries, Buddha’s birthday is celebrated in on the eighth day of the fourth month in the Chinese lunar calendar. Thus in 2012, the Buddha birthday falls on Saturday, 28 April 2012.
2012 Buddha Birthday in South Korea
In Korea the birthday of Buddha is celebrated according to the Lunisolar calendar. This day is called 석가탄신일 (Seokga tansinil), meaning “the day of Buddha’s birthday” or 부처님 오신 날 (Bucheonim osin nal) meaning “the day when Buddha arrived”. Lotus lanterns cover the entire temple throughout the month which are often flooded down the street. On the day of Buddha’s birth, many temples provide free meals and tea to all visitors. The breakfast and lunch provided are often sanchae bibimbap.
In 2012, South Korea will celebrate the Buddha Birthday on Saturday, 28 April 2012.
Happy Wesak 2012 ! Happy Vesak 2012 !

Minggu, 06 November 2011

Cinta kasih universal


CINTA KASIH (METTA) DAN PRAKTIKNYA DALAM KEHIDUPAN SEHARI-HARI


1.     Pengertian Metta
Metta (bahasa Pali) memiliki banyak arti, di antaranya kasih, sikap bersahabat, itikad baik, kemurahan hati, persaudaraan, toleransi, dan sikap tanpa kekerasan. Para komentator kitab suci Pali menjelaskan istilah metta sebagai, dambaan yang kuat akan kesejahteraan dan kebahagiaan makhluk lain (parahita-parasukhakamana). Intinya, metta adalah tindakan kasih yang dibedakan dari keramah-tamahan sebagai kedok kepentingan pribadi. Dengan metta kita menolak setiap bentuk kekerasan, kebencian, sakit hati, dan permusuhan. Sebaliknya kita lalu mengembangkan sikap batin yang bersahabat, murah hati, mudah mengerti dan dimengerti, serta selalu menghendaki kebahagiaan dan kesejahteraan makhluk lain. Metta yang sejati bersih dari kepentingan pribadi. Ia tumbuh di dalam hati yang hangat oleh kasih, simpati, dan persahabatan, yang dapat dikembangkan tanpa batas, melampaui segala rintangan sosial, agama, ras, ekonomi, dan politik.
Metta adalah kasih yang universal, tidak terbatas, dan bebas dari sikap mementingkan diri sendiri. Metta menjadikan kita sumber rasa aman dan tentram bagi makhluk lain. Seperti seorang ibu yang mempertaruhkan hidup untuk melindungi anaknya, begitu pula metta menjelma dalam tindakan memberi, yang tidak mengharapkan balasan. Mementingkan diri sendiri adalah dorongan batin paling primitif dalam diri manusia. Jika dorongan ini diubah menjadi kehendak luhur untuk memperhatikan kepentingan dan kebahagiaan makhluk lain, maka bukan hanya dorongan primitif itu terlampaui olehnya, tetapi batin menjadi universal, di mana tiada lagi perbedaan antara kepentingan pribadi dan kepentingan makhluk lain.
Metta adalah sikap melindungi dan kesabaran yang luar biasa dari seorang ibu yang menjalani segala kesulitan demi kebaikan anaknya. Metta juga mencakup sikap ingin memberi yang terbaik dari seorang sahabat. Jika kualitas-kualitas metta ini diperkuat dengan meditasi metta-bhavana-meditasi dengan objek kasih universal, hasilnya adalah suatu kekuatan batin yang menakjubkan, yang akan menjaga, melindungi, dan berfaedah bagi diri sendiri dan bagi makhluk lain. Terlepas dari hasil yang luar-biasa itu, dewasa ini metta amat dibutuhkan sebagai jawaban atas banyak permasalahan. Di dalam dunia yang sedang semakin bergejolak ini, tindakan, kata-kata, dan pemikiran yang didasari oleh metta menjadi satu-satunya sarana untuk mencapai keselarasan, perdamaian, dan saling-pengertian. Selain menjadi dasar semua agama, metta melandasi segala aktivitas yang bertujuan untuk memajukan kemanusiaan.


2.     Sejarah Lahirnya Metta Sutta
Latar belakang sejarah yang menjelaskan mengapa Buddha mengajarkan Sutta ini, ditemukan dalam Komentar yang ditulis oleh Acariya Buddhaghosa, seorang pewaris dari garis yang tak terputus sejak para Sesepuh zaman Buddha. Pada masa itu, sekitar satu atau dua bulan menjelang dimulainya masa vassa, para bhikkhu dari seluruh pelosok negeri datang berkumpul di tempat Buddha berada, untuk menerima petunjuk langsung dari sang Guru Agung. Setelah itu mereka akan kembali ke tempat masing-masing, ke vihara-vihara, hutan-hutan, atau ke gua-gua, dan melanjutkan upaya mereka mencapai pembebasan batin. Dikisahkan bahwa ada lima ratus orang bhikkhu yang menerima petunjuk dari Buddha tentang teknik-teknik khusus dalam bermeditasi, sesuai dengan watak mereka masing-masing. Para bhikkhu itu kemudian pergi ke kaki pegunungan Himalaya untuk menjalani empat bulan masa musim hujan (vassa), mengasingkan diri dan melakukan meditasi secara intensif. Dalam perjalanannya, mereka menemukan sebuah lembah yang indah di kaki Himalaya. Keindahannya dilukiskan dalam Komentar, “nampak seperti kristal biduri yang biru berkilauan, dihiasi sekelompok hutan lebat yang indah menghijau dan hamparan pasir berserakan seakan taburan mutiara atau butiran-butiran perak, serta aliran air dingin musim semi yang jernih.”
Para bhikkhu terpesona oleh pemandangan itu. Ada kampung-kampung dalam jarak yang tidak terlalu jauh dari sana, dan sebuah pasar yang ideal sebagai tempat mengumpulkan dana makanan (pindapatta). Setelah bermalam di sebuah hutan kecil, pagi keesokan harinya mereka pergi ke pasar itu untuk melakukan pindapatta.  Penduduk kampung yang didatangi oleh rombongan bhikkhu ini bukan main senangnya, karena jarang sekali tempat mereka didatangi oleh bhikkhu dalam jumlah begitu banyak. Para penganut yang taat itu memohon agar bhikkhu-bhikkhu tetap tinggal di sana sebagai tamu mereka. Mereka berjanji akan membangun pondok-pondok dekat hutan kecil di lembah itu, sehingga para bhikkhu bisa bermeditasi siang-malam di bawah pohon-pohon besar yang ada di sana. Bhikkhu-bhikkhu menyetujuinya, dan penduduk desa pun segera membangun pondok-pondok di pinggir hutan, melengkapi setiap pondok dengan tempat tidur dari kayu, kursi, dan tempat air untuk minum dan mandi. Setelah menempati pondok-pondok itu, para bhikkhu masing-masing memilih sebuah pohon untuk bermeditasi di bawahnya, siang-malam.
Syahdan, pohon-pohon besar itu ternyata sejak dulu telah didiami oleh jin-jin pohon, yang membangun istananya dengan pepohonan itu sebagai fondasi. Jin-jin pohon ini, didorong oleh rasa hormat kepada
para bhikkhu yang sedang bermeditasi, menyingkir bersama keluarga mereka. Kebajikan selalu dihormati oleh siapa saja, termasuk para makhluk halus, dan ketika bhikkhu-bhikkhu itu duduk di bawah pohon, jin-jin pohon sebagai tuan-rumah, tidak betah lagi berdiam di atas mereka. Jin-jin itu mengira bahwa rombongan bhikkhu hanya berdiam di sana untuk satu atau dua malam, sebelum merasa tidak kerasan dan mencari tempat lain. Tapi ketika hari berganti hari dan bhikkhu-bhikkhu masih juga duduk di bawah pohon-pohon mereka, jin-jin pohon mulai sangsi kapan tamu-tamu mereka mau pergi dari situ. Mereka tak ubahnya seperti penduduk desa yang rumah-rumahnya diduduki tentara musuh, sementara mereka hanya bisa memperhatikan dari kejauhan, sambil bertanya-tanya dalam hati, kapan mereka bisa kembali ke rumah masing-masing.
Makhluk-makhluk halus yang tergusur ini mulai berunding dan berunding, sebelum akhirnya memutuskan untuk mengusir rombongan bhikkhu dengan menunjukkan bentuk mereka yang menakutkan, suara-suara yang menyeramkan, serta bau busuk yang menjijikkan. Begitulah, belum lama jin-jin pohon itu menjalankan rencananya, kondisi bhikkhu-bhikkhu sudah menurun drastis, mereka tidak lagi dapat bermeditasi dengan tenang. Ketika kemudian jin-jin itu meneruskan ulahnya, para bhikkhu bahkan kehilangan konsentrasi mereka, benak mereka dipenuhi oleh bentuk-bentuk, suara, dan bau busuk yang menyeramkan.  Maka berkumpullah bhikkhu-bhikkhu itu dipimpin seorang bhikkhu senior, dan saling menceritakan pengalaman mereka. Bhikkhu senior akhirnya menyarankan, “Mari kita pergi, Saudara saudaraku, kepada sang Bhagava, dan mengadukan masalah kita kepada beliau. Ada dua masa vassa, yang pertama dan yang kedua. Jadi meskipun kita akan melewati masa yang pertama dengan meninggalkan tempat ini, kita masih dapat melaksanakan yang kedua setelah bertemu dengan sang Bhagava.”
Bhikkhu-bhikkhu setuju dan segera saja mereka berangkat, bahkan tanpa sepengetahuan penduduk kampung. Setibanya di Savatthi, mereka semua bersujud di kaki sang Bhagava dan mulai menuturkan pengalaman mereka yang menakutkan, dan dengan sedih memohon ditunjukkan tempat lain. Buddha, dengan kekuatan adi-duniawiNya lalu meneropong seluruh India, dan tidak menemukan tempat yang lebih baik dari lembah di kaki Himalaya itu, yang cocok bagi pencapaian pembebasan batin mereka. Beliau pun berkata, “O para bhikkhu, kembalilah ke tempat semula! Hanya di sanalah tempat yang cocok bagi kalian untuk berjuang membersihkan noda-noda batin. Jangan takut! Jika kalian ingin terbebas dari gangguan yang diciptakan oleh makhluk-makhluk halus itu, pelajari sutta ini. Ini adalah objek meditasi yang juga berfungsi sebagai perlindungan (paritta).” Kemudian sang Bhagava melafalkan Karaniya Metta Sutta-nyanyian kasih universal, yang segera dipelajari oleh para bhikkhu dengan menghafalkannya di depan Guru junjungan mereka. Setelah itu mereka berangkat kembali ke tempat semula. Sepanjang perjalanan hingga sampai di dekat hutan kecil di kaki gunung Himalaya, bhikkhu-bhikkhu terus membaca Metta Sutta, merenungkan dan bermeditasi atas makna yang terkandung di dalamnya. Hal ini menyentuh hati jin-jin pohon, yang segera dipenuhi oleh perasaan yang hangat dan itikad baik, sehingga mereka mengubah bentuk menjadi manusia dan menerima bhikkhu-bhikkhu dengan tulus. Jin-jin itu mengambil mangkuk-mangkuk para bhikkhu, membimbing mereka ke pondok masing-masing, menyediakan air dan makanan, kemudian kembali ke bentuk asal mereka dan mengundang para bhikkhu kembali ke bawah pohon-pohon untuk bermeditasi, tanpa ragu-ragu atau takut. Selanjutnya, selama tiga bulan masa vassa, jin-jin pohon tidak hanya melayani para bhikkhu tetapi juga mengamankan tempat itu sehingga bebas dari suara-suara yang mengganggu. Dalam keheningan hutan itu, para bhikkhu mencapai puncak kesempurnaan batin di akhir masa vassa mereka. Kelima ratus orang bhikkhu itu semuanya menjadi Arahat.
Demikianlah kekuatan yang terkandung di dalam Metta Sutta. Siapapun yang membacanya dengan keyakinan yang kuat akan terlindung dari makhluk-makhluk halus. Bermeditasi dengan objek metta tidak hanya akan melindungi diri sendiri dan orang-orang di sekeliling kita, tapi akan mencapai kemajuan batin. Bahaya tidak akan menghampiri orang yang mengikuti jalan metta.


3.     Tiga Aspek Metta
Metta Sutta terdiri atas tiga bagian, masing-masing membahas aspek metta yang berlainan. Bagian pertama (baris 3 sampai 10) membahas aspek penerapan kasih secara sistematis dan menyeluruh dalam sikap hidup sehari-hari. Bagian kedua (baris 11 sampai 20) mengupas kasih sebagai objek meditasi atau pembudayaan batin yang membimbing ke samadhi-kesadaran tingkat tinggi yang dicapai dengan jhana. Bagian yang ketiga (baris 21 sampai 40) mengandung komitmen filosofi kasih universal secara total dalam kehidupan pribadi dan sosial-tindakan kasih yang diujudkan melalui aktivitas tubuh, ucapan, dan pikiran.  Metta juga dikenal sebagai salah satu faktor yang “mematangkan” pahala kebajikan (punna) dan kesempurnaan (paramitta). Metta dapat diibaratkan sebagai kekuatan hidup yang menyertai sebutir benih hingga tumbuh menjadi pohon besar, dengan dahan dan ranting yang melandai oleh buah-buah ranum yang harumnya menyebar jauh, menarik hasrat jutaan makhluk untuk menikmatinya.
Penyebaran benih dan pertumbuhannya menjadi tunas mewakili bagian pertama dari Sutta. Dalam bagian kedua, tunas itu tumbuh dan berkembang menjadi besar, bunga-bunga yang indah dan wangi mulai bermunculan menyejukkan mata yang memandangnya. Sebagai objek meditasi, metta mendorong perkembangan batin yang akan mengubah hidup seseorang menjadi sumber kegembiraan bagi semua orang. Munculnya buah-buah ranum yang harum baunya menunjukkan bagian ketiga dari Sutta, yaitu proses perkembangan batin dimana seseorang menerapkan kasih spiritualnya secara tak terbatas, yang mempengaruhi orang (makhluk) lain, di samping membimbing diri sendiri ke pencapaian batin yang transenden. Batin manusia tak ubahnya ruang angkasa yang bisa menampung kekuatan batin dan pandangan terang dalam jumlah tak terbatas, dan potensi yang menakjubkan ini dapat dikembangkan dengan latihan metta. Dalam Mangala Sutta disebutkan bahwa kondisi lingkungan yang baik (misalnya, bergaul dengan orang bijaksana) secara tidak langsung akan mempercepat masaknya buah karma baik seseorang. Kondisi atau kekuatan yang mematangkan itu dapat terpenuhi dengan pengembangan metta. Hanya dengan menghindari pergaulan yang buruk dan hidup dalam lingkungan yang beradab tidaklah mencukupi batin kita harus diperkuat oleh metta.


4.     Aspek Etis Metta
Perbuatan yang etis, dalam konteks Ajaran Buddha, adalah perbuatan baik yang membawa kebahagiaan dan ketenangan batin-lawan dari perbuatan yang menimbulkan kekacauan atau kegelisahan batin. Ucapan, tindakan, dan penghidupan benar yang termaktub di dalam Jalan Agung Beruas Delapan merupakan landasan etika umat Buddha. Perbuatan etis akan membuahkan hasil psikologis segera di samping kelahiran kembali yang baik, sehingga kita bisa lebih maju di Jalan menuju Kebebasan. Secara sederhana, etika Buddha memiliki dua segi yaitu: -menambah kebajikan (caritta); dan –mengurangi perbuatan buruk (varitta).
Caritta, seperti kita temukan dalam Metta Sutta, adalah sebagai berikut:
Ia harus cakap, jujur, dan terbuka, halus bicaranya, lemah-lembut, tidak angkuh. Merasa puas, ia harus mudah dilayani, tidak terlalu sibuk, hidupnya sederhana. Indranya tenang, tindakannya hati-hati, tidak sombong ataupun mendambakan pujian.
Varitta tercakup dalam bait berikutnya:
Ia juga harus menghindari setiap tindakan yang dapat dicela oleh para bijaksana. Jika Caritta dan varitta merupakan ungkapan metta dalam tindakan dan ucapan, maka kebahagiaan dan dorongan batin yang altruis dicerminkan dalam sikap batin, seperti ditemukan dalam bait yang sama: Semoga semua selamat sejahtera,
semoga semua makhluk berbahagia!
Aspek etis metta juga memberikan rasa aman dan tentram bagi orang (makhluk) lain yang ada di sekeliling kita-abhayadana dan khemadana. Suatu analisis terhadap pola perilaku dan karakter yang dianjurkan oleh Metta Sutta dalam hubungan antar-manusia, baik untuk kehidupan perseorangan maupun sosial, memberikan suatu pandangan terang untuk menerapkan sutta ini bagi kesehatan mental.
“Cakap” tidak semata-mata berarti keahlian atau efisiensi, tetapi kemampuan untuk melakukan sesuatu sebaik-baiknya tanpa merugikan orang lain. Selanjutnya, orang yang cakap dapat menjadi sangat angkuh, karenanya Sutta juga menyarankan agar ia “jujur dan terbuka,” di samping itu juga, “halus bicaranya, lemah-lembut, tidak angkuh.” Sungguh suatu sistesis watak yang selaras dan sempurna! “Merasa puas” artinya “mudah dilayani.” Kesederhanaan adalah watak yang agung dan teladan bagi kehalusan budi, di mana seseorang membatasi keinginannya sebagai tenggang-rasa terhadap orang lain. Makin materialis dan kasar budi seseorang, semakin keinginannya bertambah. Ukuran kesehatan mental suatu masyarakat adalah jumlah keinginan-keinginan atau tingkat kepuasan anggotanya.
Hidup yang materialistis dan berpusat pada kepentingan sendiri dicirikan bukan hanya oleh bertambahnya keinginan tapi juga kegelisahan, yang nampak dalam sikap kelewat sibuk atau super aktif, lawan dari sikap yang moderat dan terkendali. Metta yang mengutamakan kesejahteraan semua makhluk, harus dibangun di atas kualitas-kualitas manusiawi, dengan cara memilih pekerjaan yang berarti dan bermanfaat bagi kesejahteraan orang banyak. Hidup sederhana sebagai suatu ungkapan metta menuntut perubahan cara pandang dan perilaku seseorang di dalam dunia yang dibangun di atas konsep-konsep milik, perburuan kesenangan, dan kompetisi ini. Seorang yang hidupnya sederhana akan memiliki perangai yang halus. Meski tetap efektif dan efisien, indra-indranya terkendali, dan sikapnya moderat dalam segala hal. Pembinaan batin melalui meditasi akan membentuk sikap yang wajar dan tidak ambisius: karena itulah ia disebut “indranya tenang.”
Penerapan metta dalam tindakan mencakup sikap berhati-hati dalam segala hal, yang biasa disebut kebijaksanaan praktis. Hanya orang bijaksana yang dapat benar-benar menjalankan metta dalam setiap segi kehidupannya, serta dalam tiap bentuk hubungan antar-manusia. Sikap merasa diri paling benar, merasa lebih baik dan lebih suci daripada orang lain, dapat (dan sering) berubah menjadi topeng dalam kehidupan spiritual. Melatih sikap yang “tidak sombong ataupun mendambakan pujian” akan mencegah tumbuhnya rasa diri paling benar dalam diri orang yang hendak menerapkan metta dalam hidupnya. Selanjutnya, seorang yang berlatih metta juga harus menghindari setiap tindakan, bahkan yang diterima masyarakat sebagai hal biasa, yang dapat dicela oleh para bijaksana. Tidak cukup bagi kita hanya menjadi orang baik secara diam-diam, jika kita mampu menjadi teladan bagi orang lain. Hidup yang pantas diteladani adalah yang bermanfaat bagi orang banyak, bagi kesejahteraan masyarakatnya. Untuk memperkuat mettanya, seseorang harus berusaha agar batinnya selalu diliputi metta secara utuh-penuh, melalui teknik-teknik meditasi yang dapat ditemui dalam bagian selanjutnya dari Sutta.
Alasan-alasan praktis yang mendorong seseorang untuk berlatih metta-bhavana ialah:
1. Untuk kesehatan mental, dan berkurangnya penyakit mental secara tidak langsung akan menunjang kesehatan fisik.
2. Untuk meningkatkan kesabaran, toleransi, dan pengertian, sehingga hubungan antar-manusia di rumah, di sekolah, di kantor, dan pergaulan sosial lainnya, akan lebih harmonis.
3. Untuk mengatasi kemarahan, itikad buruk, dan kelakuan buruk lainnya yang ditujukan orang kepada kita.
4. Untuk kemajuan batin.
Di samping itu, Metta juga disebut paritta-formula spiritual yang dapat melindungi kita dari mara-bahaya, dan menyelamatkan dari hal-hal yang tidak diharapkan. Ketika bhikkhu-bhikkhu dalam kisah di atas dimusuhi dan diganggu oleh makhluk-makhluk halus penunggu hutan, mereka tidak dapat bermeditasi dengan tenang hingga akhirnya harus meninggalkan hutan. Tapi dengan perisai Metta Sutta, yang mereka baca sepanjang perjalanan dan bermeditasi atas objek itu, setibanya kembali di hutan tadi, jin-jin pohon telah berubah jadi sangat bersahabat. Permusuhan telah berubah menjadi persahabatan. Perlindungan yang muncul dari paritta bekerja secara objektif dan subjektif. Secara subjektif, metta membersihkan dan menguatkan batin di samping membangkitkan potensi tersembunyi yang akan mengubah kepribadian seseorang. Batin yang diubah oleh metta tidak lagi dihantui keserakahan, kebencian, nafsu, cemburu, dan faktor-faktor lain yang mengotori batin musuh-musuh kita yang sesungguhnya, yang menyebabkan semua kemalangan kita. Secara objektif, metta adalah kekuatan pikiran yang dapat mempengaruhi pikiran makhluk lain di manapun, yang tingkatnya tinggi maupun rendah. Pancaran metta tidak hanya menenangkan atau menyingkirkan kebencian dari dalam diri, tetapi dalam banyak kasus juga dapat mengobati penyakit. Di negara-negara Buddhis, telah menjadi pemandangan biasa melihat orang-orang yang mengusir segala penyakit dan kemalangan dengan membacakan paritta ini. Metta benar-benar suatu kekuatan yang menyembuhkan, suatu paritta penyembuhan.


5.     Kasih Universal Dalam Praktek
Dalam dunia spiritual, melulu aturan-aturan “jangan begini, jangan begitu” yang banyak kita jumpai di dunia, tidaklah banyak artinya. Yang lebih penting adalah tindakan kasih kita terhadap segala orang lain, apapun yang dilakukannya terhadap kita. Sabda sang Buddha, “permusuhan tidak akan berakhir kecuali dibalas dengan kasih” dan “kemenangan paling berharga adalah (kemenangan) yang diperoleh atas diri sendiri” sungguh tidak pernah usang. Kita semua mengetahui bahwa dalam pertikaian kedua pihak akan merugi, seperti kita juga tahu bahwa kemarahan kita kepada orang lain tak ubahnya debu yang dilemparkan melawan angin dan mengenai muka sendiri. Tapi pengetahuan tentang kasih itu sering tidak banyak berarti karena tidak diwujudkan secara nyata dalam suatu tindakan kasih.
Sebuah teori psikoanalisis modern membedakan empat macam sikap- mental yang tersembunyi di balik setiap tindakan manusia, yaitu:
(1) Saya tidak Oke, kamu tidak Oke
(2) Saya tidak Oke, kamu Oke
(3) Saya Oke, kamu tidak Oke
(4) Saya Oke, kamu Oke.
Dari semua itu, sikap yang keempat mengandung apa yang kita sebut tindakan kasih. Orang yang berkata dalam hatinya, “untuk kebaikanku dan untuk kebaikanmu juga,” adalah seorang optimistis yang selalu mencoba melihat sisi baik dari semua orang dan semua situasi. Dengan begitu ia dapat mulai belajar mengerti dan menerima dirinya sendiri maupun orang (makhluk) lain, dan melihat bahwa tidak ada satu orangpun di dunia ini yang tidak memiliki sisi baik. Ia yang hendak mempraktekkan tindakan kasih dalam setiap segi kehidupan akan terus berusaha mencapai kebahagiaan bagi semua, bagi dirinya sendiri dan orang lain.
Jadi, bagaimana praktik yang benar untuk melatih Metta dlm kehidupan sehari-hari?
Pertama-tama kita perlu memancarkan metta kepada diri sendiri terlebih dahulu, ini sangat penting! Bayangkan saja mana mungkin kita bisa memancarkan metta kepada orang lain jika kita masih belum bisa memancarkan metta kepada diri sendiri. Contoh konkrit memancarkan metta kepada diri sendiri adalah dengan memperhatikan ketika kita mau makan, maka kita perlu berhati-hati, kita juga perlu periksa baik-baik apakah makanan yang akan disantap itu mengandung racun atau tidak, mengandung bahan kimia, minyak, kolestrol, lemak, apakah makanan yang akan kita santap itu menyebabkan penderitaan baru bagi diri sendiri dan juga makhluk lain?
Ketika seseorang sedang menikmati rokok, narkoba, dan sebagainya, dia wajib melihat lebih dalam apakah ini termasuk aksi memancarkan metta kepada paru-paru dan tubuh fisik ini bukan? Kita perlu menatap lebih dalam, sehingga cara kita menyantap makanan akan memberi kesehatan bagi tubuh fisik, ini salah satu cara memancarkan metta kepada tubuh fisik kita.
Ketika menyantap makanan mental seperti nonton televisi, baca koran, novel, majalah, dialog; kita juga perlu hati-hati apakah program televisi dan media masa itu mengandung racun kekerasan, kebencian, iri hati, sifat tamak, kekecewaan, sifat curiga dan sebagainya, karena kalau kita tidak hati-hati, maka banyak program televisi dan media masa ini akan menjadi faktor penyebab kanker mental yang namanya stress dan frustasi yang ujung-ujungnya bermuara pada bunuh diri, jadi ber-metta-lah pada mental pikiranmu sendiri terlebih dahulu.
Dalam konteks ini, bukanlah kita menolak dan membenci program televisi dan berbagai media masa, toh banyak program televisi yang bermanfaat dan media masa yang memberikan makanan sehat bagi mental, kita perlu hidup eling dan waspada agar tidak memasukkan racun-racun mental ke dalam pikiran kita.
Kalau kita sudah sering memancarkan metta kepada tubuh fisik dan mental, maka tubuh fisik dan mental akan menjadi lebih sehat, dengan kondisi demikian kita baru bisa menjadi panutan baik buat orang lain, kita tidak perlu memberikan ceramah dharma panjang-panjang di depan publik, tapi tindakan nyata kita adalah ceramah dharma ampuh!
Sesungguhnya ketika kita memancarkan metta kepada diri sendiri, berarti kita juga sedang memancarkan metta kepada orang lain, dan ketika kita memancarkan metta kepada orang lain berarti kita juga sedang memancarkan metta kepada diri sendiri. Lihatlah bahwa ada interkoneksi antara dua hal tersebut. Selamat mencoba yah, salam bahagia.
Berikut ini adalah kutipan sabda-sabda sang Buddha mengenai kasih sebagai perisai yang mengalahkan kebencian :
Kakacupama Sutta, Majjhima Nikaya 21
“Phagguna, jika seseorang memukul wajahmu, maka engkau tidak boleh menanggapi dan berpikir secara duniawi. Dalam hal ini, Phagguna, engkau harus melatih dirimu demikian: ‘Batinku tidak boleh terpengaruh oleh hal ini, begitu pula tidak akan kuberi kesempatan bagi keluarnya kata-kata kasar; sebaliknya aku akan tetap penuh perhatian dan belas kasihan, dengan batin penuh kasih, dan aku tiada akan menjadi benci.’
Inilah caranya, Phagguna, bagaimana engkau harus melatih dirimu.
“Phagguna, jika seseorang meninjumu dengan tangannya, atau melemparmu dengan tanah, atau memukulmu dengan kayu, atau melukaimu dengan pedangnya, maka engkau tidak boleh menanggapi dan berpikir secara duniawi. Dalam hal ini, Phagguna, engkau harus melatih dirimu demikian: ‘Batinku tidak boleh terpengaruh oleh hal ini, begitu pula tidak akan kuberi kesempatan bagi keluarnya kata-kata kasar; sebaliknya aku akan tetap penuh perhatian dan belas kasihan, dengan batin penuh kasih, dan aku tiada akan menjadi benci.’ Inilah caranya, Phagguna, bagaimana engkau harus melatih dirimu.